'Jauh api dari panggang'. Itulah mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana realisasi dari pelaksanaan stimulus fiskal dalam bentuk insentif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk karyawan.
Lima bulan sudah berjalan, tapi pemanfaat fasilitas tersebut ternyata masih minim sekali. Meski belum ada angka pasti berapa jumlah penyerapan insentif tersebut per Juni 2009, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution pun mengakui bahwa sampai saat ini pemanfaat fasilitas itu masih minim.
Sekadar mengingatkan, pemerintah sebelumnya telah memberikan stimulus fiskal berupa insentif PPh pasal 21 DTP untuk masa pajak Februari 2009-November 2009. Insentif tersebut hanya diberikan kepada karyawan yang berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp5 juta per bulan.
Karyawan yang dapat memanfaatkan fasilitas itu adalah yang bekerja di tiga sektor bidang usaha besar, yaitu pertama, kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan yang meliputi 73 subsektor usaha. Kedua, sektor usaha perikanan yang meliputi 19 sub sektor usaha. Ketiga, adalah sektor industri pengolahan yang meliputi 372 subsektor usaha.
Alokasi dana yang disediakan pemerintah untuk fasilitas itu pun tidak tanggung-tanggung. Setidaknya dana sebesar Rp6,5 triliun disiapkan untuk program stimulus fiskal yang bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebagai stimulus, tentunya insentif ini diharapkan dapat terserap dengan baik sehingga daya beli masyarakat bisa meningkat yang pada akhirnya dapat menggerakkan roda ekonomi nasional yang sedang lesu akibat diterpa krisis global.
Menurut, Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan, Direktorat Jenderal Pajak Liberti Pandiangan, bila dana Rp6,5 triliun tersebut terserap dengan baik, akan dapat menggeliatkan perekonomian yang menyentuh masyarakat menengah ke bawah.
Perhitungannya seperti ini, dengan asumsi multiplier effect 15% hingga akhir 2009 masa berlakunya insentif pajak tersebut, berarti akan tercipta sekitar Rp7,5 triliun permintaan barang dan jasa di pasar.
Tidak berjalan
Alih-alih meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah, pelaksanaan program itu justru tidak berjalan atau terserap dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Misscomunication dan missintepretation baik oleh karyawan maupun pemberi kerja, dituding sebagai biang keladinya. Bahkan pihak perusahaan juga dituding sebagai penyebab karena enggan memanfaatkan fasilitas itu untuk karyawan.
"Kelihatannya ada juga hal-hal yang membuat pemberi kerja tidak tertarik untuk memberikan fasilitas itu," ungkap Darmin, beberapa waktu lalu.
Jika memang demikian, pertanyaannya adalah di mana peran pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak sebagai regulator kebijakan ini? sehingga banyak pekerja dan pemberi kerja yang tidak paham bahkan tidak tahu perihal kebijakan ini.
Asumsinya, misscomunication dan missinterpretation itu muncul akibat dari kurangnya sosialisasi secara vertikal atas sebuah kebijakan pemerintah sehingga 'pesan' dari kebijakan itu tidak ditangkap dengan baik oleh objek kebijakan tersebut dalam hal ini karyawan dan pemberi kerja.
Dengan kata lain, ada yang tidak pas dengan metode sosialisasi Ditjen Pajak selama ini.
Ekonom Indef M. Ikhsan Modjo dan pengamat perpajakan dari Tax Center UI Darussalam menilai masih minimnya perusahaan yang memanfaatkan fasilitas PPh pasal 21 untuk karyawannya tersebut karena minimnya sosialisasi dari Ditjen Pajak baik di level karyawan maupun perusahaan.
Dalam persoalan ini, Ditjen Pajak justru terkesan bak pemadam kebakaran yang baru take action manakala pemberitaan mengenai minimnya penyerapan insentif PPh pasal 21 DTP ini marak 'diperbincangkan' di media.
Tak tanggung-tanggung, persis ketika isu ini santer dipublikasikan oleh media, surat edaran (SE) Dirjen Pajak pun dikeluarkan untuk mengatasi persoalan minimnya penyerapan insentif PPh pasal 21 DTP itu.
Melalui SE tertanggal 7 Juli 2009 bernomor No. 64/PJ/2009 tentang Pekerja Yang Memperoleh PPh pasal 21 DTP, Dirjen Pajak menginstruksikan kepada para kepala kantor pelayanan pajak untuk melakukan sosialisasi besar-besaran kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja, dan asosiasi pekerja mengenai fasilitas PPh pasal 21 DTP.
Dalam SE itu, Ditjen Pajak juga kembali menegaskan perihal kriteria pekerja yang berhak memperoleh insentif tersebut.
Ada pertanyaan menggelitik bagi penulis, kok baru sekarang ya ada instruksi sosialisasi itu? Kenapa nggak dari dulu-dulu?
Seandainya saja SE itu terbit di awal-awal pemberlakuan kebijakan ini, tentunya kejadian minimnya pemanfaat insentif PPh pasal 21 DTP tidak akan terjadi. Apa boleh buat nasi sudah jadi bubur, mudah-mudahan dalam waktu 5 bulan yang masih tersisa ini penyerapan insentif PPh pasal 21 DTP dapat berjalan dengan lebih baik lagi. Karena kalau tidak terserap dengan baik, apa kata dunia?