Marah betul para pembayar pajak yang telah menyampaikan surat setoran pajak (SSP) dan surat pemberitahuan tahunan (SPT) Maret lalu, ketika mengetahui adanya praktik mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan dkk.
Mereka tidak menyangka bahwa tiap rupiah yang dibayarkan untuk negara, ternyata diselewengkan sendiri oleh aparatur Ditjen Pajak yang telah mendapatkan kenaikan gaji luar biasa.
Kampanye bertema Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya ternyata bertepuk sebelah tangan. Ketika wajib pajak melunasi kewajibannya, ternyata pemerintah sendiri gagal mengawasi aparaturnya. Tidak heran jika kemudian muncul gerakan penolakan sekelompok masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar pajak.
Terlepas dari upaya Menteri Keuangan untuk melakukan pembersihan habis-habisan di "rumah"-nya saat ini, kekecewaan masyarakat-khususnya para pembayar pajak-atas kasus Gayus telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah melakukan pengawasan dan penindakan terhadap aparatur yang korup.
Oleh sebab itu, selain segera melakukan perbaikan sistem pengawasan internal dan pemberian sanksi yang keras kepada para pelaku, pemerintah harus segera bertindak memulihkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kualitas dan kinerja aparat pemerintah, sehingga dalam skala besar tidak terjadi pembangkangan besar-besaran (public disobedience).
Sudah waktunya pemerintah mulai bertindak sebagai perusahaan produk konsumsi yang sangat menghargai kepuasan pelanggan. Jangan lagi melihat wajib pajak sebagai "sasaran" yang harus "setor" ke negara dan bisa "diperas" oleh aparat kalau ada kesalahan.
Tempatkanlah para pemilik nomor pokok wajib pajak (BPWP) seperti pemegang kartu Prioritas Bank Mandiri yang mendapatkan ruangan khusus untuk transaksi, mendapat minuman segar dan berbagai kemudahan.
Sangat jarang pejabat pemerintah berpikir sebagai orang bisnis. Padahal para wajib pajak juga orang yang punya rasa. Bukan sekadar nama dengan nomor NPWP dan jumlah pajaknya. Sikap mendekati pelanggan, membujuk mereka untuk mau mendengar, mengarahkan mereka agar mau membeli, sampai akhirnya memelihara mereka sebagai sumber pendapatan jangka panjang tidak pernah dilakukan.
Yang sangat jelas terlihat adalah upaya menambah jumlah wajib pajak dengan pendekatan mengingatkan kewajiban melalui kampanye yang bersifat menekan, memaksa, dan mempermalukan dengan semboyan, "Apa kata dunia?"
Pemerintah harus berani mengubah konsep dasar pajak sebagai sekedar kewajiban menjadi pajak adalah alat tukar jasa (trade-off) dengan kualitas pelayanan publik. Di negara maju, rakyatnya sudah sangat sadar bahwa mereka berhak menggugat kualitas pelayanan publik karena mereka dengan tegas mengatakan bahwa saya dalah pembayar pajak (tax payer) dan gaji anda (aparat) semua dibayar dari pajak yang saya bayar.
Pidato presiden
Langkah inovatif ini dapat dimulai melalui pidato presiden di depan televisi dengan mengatakan bahwa, "60% gaji saya, wapres, para menteri, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPRD serta seluruh PNS, anggota TNI, Polri dan aparat pemerintah lainnya adalah dari setoran pajak badan dan orang pribadi".
"Oleh sebab itu, menjadi wajib hukumnya bagi kita semua aparat negara, pemerintah, dan wakil rakyat, untuk sungguh-sungguh melayani kepentingan para pembayar pajak dengan sepenuh hati. Bahkan sangat wajar jika kita melayani mereka lebih khusus dari yang lain".
"Demi untuk menjaga hubungan baik, kepercayaan dan penghormatan antara aparat Pemerintah dan para wajib pajak, maka dengan ini saya instruksikan kepada seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu, gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia agar segera membuat program pelayanan khusus kepada para pemegang kartu NPWP di setiap pos/loket pelayanan publik yang dimiliki. Baik dalam bentuk penyediaan ruang khusus, prioritas percepatan proses maupun kualifikasi personel pelayanan yang lebih andal."
"Mari kita tunjukkan kepada para pembayar pajak, bahwa kita bisa memberikan pelayanan yang baik untuk mereka."
Segera setelah pidato presiden, maka Kapolri akan membereskan loket SIM/STNK/BPKB yang berada di setiap Polda. Para gubernur akan membereskan loket pembuatan/perpanjangan KTP di setiap kelurahan dan seterusnya.
Jika revolusi pelayanan publik ini akan terjadi, dapat dipastikan sistem pasar bekerja dengan sendirinya. Setiap warga yang melihat pemegang kartu NPWP dilayani di ruang khusus dan jauh lebih cepat, tentu akan terdorong untuk segera memiliki NPWP karena ingin mendapat pelayanan yang sama.
Dengan demikian, program ekstensifikasi pajak tidak hanya dilakukan Kementerian Keuangan melalui kampanye kesadaran pribadi, tetapi juga didorong oleh lembaga lain di dalam sistem pemerintahan melalui peningkatan pelayanan di semua lini.
Konsep ini akan mendorong semua pihak saling menyadari bahwa dalam hidup ini harus terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Rakyat sudah pintar dan bisa memilih mana yang baik dan benar. Bahwa di antara aparat masih ada oknum, itu wajar saja. Namun, ketika pelayanan publik sudah terasa memadai-walaupun belum memuaskan-maka kasus Gayus Tambunan hanya akan dianggap kriminal biasa. Bukan merupakan bencana nasional di bidang hukum dan fiskal seperti sekarang ini.