Ketika baru menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung melakukan kunjungan mendadak ke Direktorat Jenderal Pajak (27 Oktober 2004). Salah satu hasil penting dari sidaknya itu adalah penetapan target pencapaian tax ratio (rasio pajak) sebesar 19% pada akhir masa jabatannya, pada 2009.
Saat ini, tax ratio diperkirakan mencapai15,1%. Dengan limit waktu kurang lebih satu tahun lagi, apakah target Presiden SBY bahwa tax ratio 19% pada 2009 dapat terwujud?
Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio itu dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara.
Logikanya, semakin tinggi nilai tax ratio maka semakin patuh wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya di negara tersebut. Negara maju (OECD) memiliki rata-rata tax ratio di atas 30%, bahkan Swedia memiliki tax ratio sebesar 53%.
Data empiris di Indonesia menunjukkan tax ratio cenderung meningkat setiap tahunnya, tetapi tidak lebih dari 15%. Ketika SBY baru menjabat (2004) tax ratio sebesar 12,3% dan pada 2005 terjadi peningkatan menjadi sebesar 12,7%. Khusus 2008 ini, dengan asumsi target penerimaan pajak tercapai Rp525,5 triliun dan PDB diperkirakan Rp3.500 triliun, maka diprediksi tax ratio akan mencapai 15,1%. Dus, untuk mencapai tax ratio 19 % pada 2009 setidaknya penerimaan pajak harus mencapai Rp703 triliun atau tumbuh Rp177,5 triliun.
Sehingga, usaha pencapaian tax ratio 19% ini akan sangat bergantung pada pencapaian penerimaan pajak. Walaupun pertumbuhan penerimaan pajak saat ini mencapai 42% (tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya), tetapi Ditjen Pajak harus tetap waspada. Karena, kalau melihat lebih detail realisasi penerimaan pajak saat ini, ternyata sumbangan penerimaan terbesar berasal dari penerimaan PPh Migas.
Tentunya, penerimaan pajak yang didominasi oleh penerimaan PPh Migas akibat fenomena tingginya harga minyak dunia sangat tidak bisa diprediksi secara pasti, terutama faktor naik turunnya harga minyak yang mengikuti efek global. Data terakhir diketahui bahwa dalam kurun waktu tidak terlalu lama ( 3-16 Juli 2008) harga minyak telah turun dari US$145 per barel menjadi US$128 per barel (Jawa Pos, 20 Juli).
Faktor lainnya yang perlu diantisipasi sejak awal adalah potential loss penerimaan pajak akibat diberlakukannya UU Pajak Penghasilan mulai 2009. Naiknya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp13,2 juta menjadi Rp15,840 juta; pemberlakuan bebas fiskal bagi pemilik NPWP; turunnya tarif PPh Badan menjadi 28% dan turunnya tarif PPh Orang Pribadi menjadi lapisan teratasnya 30% diperkirakan akan mengakibatkan potential loss sebesar Rp40,8 triliun (Jawa Pos, 22 Juli).
Peluang emas
Untuk mencapai amanah pada 2008, Ditjen Pajak harus dapat menemukan peluang emas dalam mengali penerimaan pajak. Menurut saya, yang paling cepat dan memungkinkan adalah mengali pajak untuk wajib pajak karena melakukan transaksi keuangan tertentu. Sebenarnya data potensial adalah data perbankan, tetapi karena terbentur UU Bank Indonesia yang menyangkut kerahasiaan nasabah, Ditjen Pajak harus kreatif dan inovatif dalam mencari tambahan penerimaan pajak.
Kalau selama ini telah dibandingkan dengan penerimaan persektor, selanjutnya adalah membandingkan data Wajib Pajak (SPT, Pembayaran Pajak) dengan data eksternal. Nah, data eksternal ini sangat banyak dan tentunya, mudah didapat.
Contoh konkretnya adalah data dari Indonesia International Motor Show (IIMS) yang baru minggu lalu berakhir. Dalam kurun waktu 10 hari, tercatat penjualan mobil sebanyak 7.500 unit dengan nilai transaksi Rp2 Triliun. Tentunya, data ini akan sangat berguna karena daftar nama pembeli dan nilai transaksinya dapat segera diketahui dengan mudah.
Alhasil bagi pembeli yang telah ber-NPWP, tinggal dibandingkan saja kemampuan keuangannya dengan transaksi yang dilakukannya. Sebaliknya, bagi pembeli yang belum ber-NPWP dapat langsung dikenakan NPWP dan diikutkan dengan program sunset policy yang berujung pada bertambahnya penerimaan pajak.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, Ditjen Pajak dapat membandingkan jenis mobil yang dibeli. Menurut data IIMS, ada banyak mobil mewah (premium) yang terjual yaitu merek Mazda RX8, Mercy SL 350, Audi A8, VW Tiguan dan Toyota Fortuner.
Sangat fantastis kalau melihat pada hari pertama saja telah terjual Mercy SL 350 (mobil mewah 2 pintu dengan kapasitas mesin 3.498 cc) seharga Rp2 Miliar! Terlebih lagi pada hari ketujuh model itu terjual sebanyak 42 unit.
Data mobil mewah tersebut memang merupakan sumber penggalian potensi pajak yang sangat signifikan. Menurut Departemen Perindustrian, diprediksi selama 2008 penjualan mobil mewah akan naik 80% atau menembus angka 4.500 unit. Selanjutnya, dengan mudah Ditjen Pajak dapat memperoleh data pembelinya, mengolah dengan membandingkan SPTnya dan menagih kekurangan pajaknya.
Untuk mencapai tax ratio 19% pada 2009 sudah seharusnya Ditjen Pajak menyusun suatu rencana dan strategi pencapaian penerimaan pajak yang tajam. Kalau melihat struktur penerimaan pajak selama ini, pajak PPh Pasal 21 (Karyawan) dan pajak pemotongan (witholding tax) selalu memberikan sumbangan terbesar. Sementara itu, PPh Orang Pribadi (OP) masih jauh dari harapan.
Sebagai data pembanding (www.irs.gov), di Amerika Serikat sumbangan terbesar penerimaan pajak 2007 adalah dari PPh Orang Pribadi, yaitu jumlah WP yang memasukkan SPT sebanyak 138,89 Juta dan nilai pajaknya sebesar US$1,36 juta lebih besar daripada penerimaan PPh Badan senilai US$395.000 dan Pajak PPh 21 (karyawan) senilai US$849.
Kenyataan itu sangat terbalik apabila kita mendapatkan data tentang penjualan mobil mewah yang dengan cepatnya terjual. Lalu pertanyaannya, apakah pembeli tersebut sudah melaksanakan kewajiban perpajakannya? Saya yakin masih banyak di antara mereka yang belum melaksanakan kewajibannya. Jadi ketika ini tergali maka otomatis tax ratio akan meningkat.
Chandra Budi
Staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan