Follow Us :

Di Jepang, orang yang membayar pajak bisa kecanduan. Mekanisme self assessment atau pelaporan dari wajib pajak atas beban pajak yang harus ditanggungnya pun benar-benar berjalan tanpa beban. Itu gambaran ideal yang kini tengah dinanti di Indonesia.

Kenikmatan membayar pajak di Jepang terlihat dari pengalaman Benny Siga Butarbutar. Pria 40 tahunan ini memboyong istri dan dua anaknya ke Tokyo sejak 2,5 tahun lalu.

Setiap bulannya, Benny membayar Pajak Lingkungan 35.000 yen atau sekitar Rp 3,5 juta. Namun, yang diperoleh Benny dari Pemerintah Jepang jauh lebih banyak dari itu.

Setiap bulannya, anak-anak Benny menerima tunjangan anak (child allowance) 20.000 yen atau setara Rp 2 juta per orang untuk kebutuhan dasar. Itu artinya Benny menerima 40.000 yen sebulan.

Benny juga mendapatkan subsidi 12.000 yen atau sekitar Rp 1,2 juta sebagai kepala keluarga. Dengan demikian, total manfaat yang diperolehnya mencapai 52.000 yen atau 17.000 yen lebih tinggi daripada bayaran Pajak Lingkungan tadi.

Benny pun tidak perlu pusing memikirkan biaya pendidikan anaknya di sekolah Tokyo-Indonesia karena ongkosnya gratis.

Akan tetapi, manfaat yang paling besar dan cukup mengharukan, yakni kehidupan sehat di Tokyo sebagai suatu keluarga.

”Anak-anak tidak perlu khawatir diserempet kendaraan ketika menyeberang jalan. Polusi udara di Tokyo sangat minim. Dan, fasilitas kesehatan yang maksimal,” ujarnya.

Benny pun terbiasa berjalan kaki malam hari di Tokyo tanpa rasa waswas. Polisi bahkan siap mengantar pulang Benny saat dia nyasar di Tokyo.

Aturan pajak juga membuat Pipin, seorang mahasiswa jurusan pariwisata asal Indonesia, betah tinggal di kaki gunung Fuji empat tahun terakhir ini. Sambil belajar, Pipin bekerja sebagai chef dan berpenghasilan 200.000 yen sebulan. Dari penghasilan itu, 70.000 yen yang dibayarkan untuk pajak, dana pensiun, dan asuransi.

”Saya bisa menabung 30.000 yen sebulan, beli pulsa telepon 10.000 yen, dan biaya hidup sisanya,” tuturnya.

Sampah

Uang pajak lingkungan juga dimanfaatkan Pemerintah Jepang secara maksimal dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Kota Tokyo bersikap tegas dalam penanganan sampah ini.

Warga diwajibkan memilah-milah sampah menjadi empat jenis. Pertama, sampah biasa (seperti bekas makanan). Kedua, sampah yang tidak bisa dibakar, seperti kaleng dan botol.

Ketiga, sampah besar seperti kumpulan koran. Keempat, sampah besar yang harus dibayar seperti televisi atau kulkas. Jika ini tidak diikuti, jangan kaget jika suatu pagi rumah kita ditempeli surat peringatan.

Jika sampah itu berukuran lebih besar dari panjang dan lebar kertas HVS, pembuang sampah wajib membayar biaya pengolahan. Mobil sedan yang akan dibuang harus membayar 50.000 yen atau sekitar Rp 5 juta jika hanya dibelah dua bagian. Sebuah meja kayu, kalau dibuang begitu saja akan diperlakukan sama dengan mobil itu.

Atas dasar itulah, Benny bersedia bersusah payah menggergaji meja kayu usang hingga berukuran setara kertas HVS agar terhindar dari biaya tadi. ”Kalau tidak dipotong, biayanya bisa 20.000 yen. Itu sama dengan tiket anak-anak ke DisneyLand-nya Tokyo,” tuturnya.

Jadi, ada satu pelajaran berharga dalam pengelolaan pajak atau retribusi di Jepang, yakni setiap yen yang dibayar warga negara harus memberikan manfaat langsung pada pembayar pajak sehingga menjadi jelas perbedaan antara pembayar pajak dan yang bukan.

Besarnya manfaat yang bisa diberikan dari pajak membuat Pemerintah Jepang sangat tegas dalam memungut pajak pada warga negaranya. Salah satu yang merasakannya adalah Seichii Okawa, pemilik yayasan yang mengembangkan Graha Budaya Indonesia di Tokyo.

”Saya wajib membayar pajak sebagai pengelola yayasan sebesar 70.000 yen per tahun, baik dalam keadaan merugi maupun untung. Krisis atau tidak krisis sama saja,” ujarnya.

error: Content is protected