Jakarta, Kompas – Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mulai diberlakukan pada 30 April mendatang menjadi momentum bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi pengelolaan pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Keterbukaan ini diyakini bisa menekan potensi penyimpangan oleh pegawai pajak, seperti yang terjadi dalam kasus Gayus HP Tambunan.
”Kasus Gayus telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pajak. Untuk memulihkan kepercayaan itu tidak cukup hanya dengan pembenahan internal. Ditjen Pajak harus menjadikan dirinya sebagai ’gedung kaca’ yang memungkinkan masyarakat melihat dan memantau apa yang terjadi di sana,” kata Direktur Eksekutif Media Link Ahmad Faisol, Rabu (7/4).
Ketua Komisi Informasi Pusat Alamsyah Saragih mengungkapkan, dengan pemberlakuan undang-undang tersebut, publik setidaknya berhak mendapat informasi berkala dari Ditjen Pajak tentang laporan penerimaan pajak dan perkembangan pengelolaan keberatan pajak.
Menurut Alamsyah, dalam penanganan kasus Gayus, publik juga berhak mendapat informasi tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Keuangan dan Transaksi Mencurigakan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, status penanganannya di polisi, serta putusan pengadilan atas perkara itu.
Menurut Alamsyah, pejabat lembaga publik yang enggan membuka akses informasi yang tidak termasuk dalam pengecualian sesuai Pasal 52 UU itu bisa dikenai sanksi pidana kurungan paling lama setahun dan denda paling banyak Rp 5 juta.
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government M Fadjroel Rahman menilai, meski undang-undang itu cukup positif, masih ada celah yang membuat informasi itu tidak bisa diakses, antara lain, kriteria informasi yang masuk kategori rahasia negara.