JAKARTA (Suara Karya): Sebanyak lima perusahaan batu bara pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi pertama menyetor dana senilai Rp 600 miliar ke pemerintah.
Dana yang akan dikirim ke rekening Direktorat Kekayaan Negara dan Lelang itu, merupakan jaminan perusahaan membayar tunggakan royalti batu bara.
"Kelima kontraktor menunjukkan iktikad baik, mereka sanggup menyetor uang sebesar Rp 600 miliar sebagai jaminan penyelesaian hak dan kewajiban lima kontraktor tersebut dengan pemerintah," kata Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi, di Jakarta, Senin (1/9).
Menurut Didi, dana itu juga jaminan awal, karena sudah berkembang isu paksa badan. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Adaro Indonesia senilai Rp 150 miliar, PT Kaltim Prima Coal Rp 150 miliar, PT Kideco Jaya Agung Rp 110 miliar, PT Arutmin Indonesia Rp 100 miliar, dan PT Berau Coal Rp 90 miliar.
Didi juga mengatakan, besaran nilai tersebut merupakan usulan masing-masing perusahaan. Saat ini, lanjut dia, audit masih terus berlangsung dan diharapkan selesai dalam waktu dekat. "Kami targetnya secepatnya, karena negara butuh dana ini buat dibelanjakan," ujar Didi.
BPKP melakukan audit terhadap sengketa pembayaran kewajiban antara pemerintah dan kontraktor mulai 1 September 2008 ini. Pelaksanaan audit tersebut paling lama sebulan.
Menurut Didi Widayadi, auditnya sendiri akan dilakukan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) yang dipimpin BPKP berdasarkan masukan laporan perhitungan kontraktor.
Laporan penghitungan tersebut akan dimasukkan ke Departemen ESDM, termasuk penghitungan PPn (Pajak Penjualan) sesuai kontrak PKP2B generasi pertama.
"Tim OPN akan audit setelah kontraktor memasukan laporan perhitungan ke Departemen ESDM termasuk PPn sesuai PKP2B generasi 1," kata Didi.
Audit tersebut akan mencari tahu berapa nilai sebenarnya hak dan kewajiban pemerintah maupun kontraktor batu bara. Jika ternyata jumlahnya lebih besar dari yang sudah dibayar sebagai jaminan, maka kontraktor harus menambahkan.
"
Statusnya nanti setelah BPKP dan pajak audit di lapangan. Secepatnya. Mereka komit untuk bantu semuanya. Kesepakatan hari ini, besok akan dilaporkan ke Menko Perekonomian dan Presiden," ujarnya.
Menurut Didi, setelah semua dana tersebut terkumpul di rekening tersebut, maka BPKP dan Ditjen Pajak akan melakukan audit secepatnya. Audit tersebut terkait berapa sebenarnya hak dan kewajiban masing-masing pihak.
"Jumlah berapa sebenarnya kewajiban dan hak masing-masing kan harus diaudit. Berapa sisanya sangat bergantung pada hasil auditnya," ucapnya.
Setelah dilakukan audit untuk mengetahui berapa hak dan kewajiban masing-masing pihak, baru akan diputuskan mekanisme pembayarannya.
Didi juga menambahkan, para kontraktor juga berkomitmen menyelesaikan masalah ini dengan kembali ke mekanisme sesuai kontrak.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian BPKP Binsar Simanjuntak mengatakan, proses audit tersebut paling lama rampung dilaksanakan dalam sebulan. "Audit sudah mulai dilakukan. Paling lama sebulan, tergantung kelengkapan datanya," ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sebelumnya mengatakan, pihaknya akan memakai rekomendasi BPKP untuk merestitusi pajak perusahaan batu bara.
Menurut dia, dengan memakai rekomendasi BPKP maka diharapkan di belakang hari tidak menimbulkan pertanyaan lagi. Namun, dia juga mengingatkan, sebelum dapat restitusi, pengusaha batu bara harus membayar tunggakan dana hasil produksi batu bara (DHPB) terlebih dahulu.
Dia mengatakan, perusahaan batu bara sudah menyerahkan perhitungan restitusi yang harus dibayar pemerintah dan besar tunggakan DHPB. Nilai keduanya yang dihitung perusahaan hampir sama, yakni sekitar Rp 7 triliun.
Sebelumnya, Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen ESDM, Bambang Setiawan, menyatakan, BPKP merekomendasikan alternatif penyelesaian tunggakan DHPB, yakni alternatif pertama adalah perusahaan batu bara mendapat restitusi dan alternatif selanjutnya melalui mekanisme reimbursement (penggantian pajak) yang semua mengacu kepada kontrak.
Selain pokok tunggakan, BPKP juga akan menghitung denda sebesar dua persen per bulan yang mesti dibayar perusahaan batu bara. Purnomo menambahkan, adanya tunggakan DHPB tersebut membuat laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap anggaran Departemen ESDM masih berupa wajar dengan syarat.
Di sisi lain, pemerintah segera menetapkan kuota kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) bagi perusahaan tambang batu bara setiap tahun yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
Indra, A. Choir