JAKARTA: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak segera menerapkan pajak progresif terhadap kegiatan konversi lahan.
Paskah Suzetta, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, mengatakan pajak progresif ini ditujukan sebagai disinsentif agar kegiatan konversi lahan yang merusak lingkungan dapat diminimalisasi.
"Untuk mengendalikan konversi lahan, harus dipakai instrumen fiskal berupa pajak sebagai fasilitas insentif dan disinsentif. Ini harus diterapkan dan dioptimalkan," ujarnya dalam sebuah diskusi, kemarin.
Menurut dia, selama ini belum ada implementasi kebijakan pajak progresif sebagai tindak pencegahan konversi lahan yang berlebihan sehingga tak mengherankan bila laju pengalihan lahan, terutama lahan pertanian ke nonpertanian sangat tinggi.
Hadi Prasetyo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur, berpendapat penerapan pajak progresif merupakan salah satu solusi persoalan konversi lahan yang makin parah.
Namun, realisasi kebijakan tersebut bergantung pada kemauan politik dan itikad baik Ditjen Pajak Depkeu. "Mereka [Ditjen Pajak] perlu didorong, jangan cuma pikirkan NJOP [nilai jual objek pajak]. Kalau pajak progresif bisa diintensifkan dan ada sistem bagi hasil, 2% saja lumayan sebagai pemasukan daerah."
Berdasarkan proyeksi Departemen Pekerjaan Umum (PU) 2008, lebih dari 110.000 hektare lahan per tahun di Indonesia mengalami konversi. Di Jawa, sebanyak 58,7% lahan sawah berubah fungsi menjadi perumahan dan 21,8% untuk industri, perkantoran serta pertokoan. Di luar Jawa, 16,1% lahan sawah menjadi perumahan dan 48,6% menjadi nonsawah.
Pada saat yang sama, laporan Millenium Development Goals Bappenas 2008 mencatat laju deforestasi yang tinggi di negeri ini. Dalam waktu 5 tahun (2000-2005), terjadi deforestasi pada hutan seluas 5.447.800 hektare. Jumlah ka-wasan tertutup hutan di Tanah Air saat ini hanya 49,9%, padahal pada 1990 daratan Indonesia yang tertutup hutan mencakup 60%.
Dewi Astuti