Follow Us :

Jakarta, Kompas – Direktorat Jenderal Pajak tidak pernah menerima permohonan restitusi atau pengembalian pajak lebih bayar dari perusahaan tambang batu bara sejak tahun 2001 hingga sekarang. Ini untuk menunjukkan bahwa penahanan royalti akibat restitusi yang tidak dibayar adalah dua hal yang tidak berkaitan.

”Sejak 2001, tidak ada tunggakan restitusi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang belum kami bayar. Faktanya, tidak ada permohonan restitusi PPN dari para pengusaha batu bara. Jadi, tidak betul penahanan royalti oleh para pengusaha itu dilakukan karena restitusi PPN tidak kami bayar,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Senin (11/8) di Jakarta.

Penetapan batu bara sebagai barang bukan kena pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000.

Dengan berlakunya PP tersebut, kontraktor generasi I (perusahaan tambang batu bara yang menandatangani kontrak sebelum 1 April 1985) tidak lagi bisa memungut PPN keluaran atas batu bara yang mereka jual.

Merunut pada alasan perusahaan batu bara yang menahan royalti, mereka tetap membayar biaya untuk semua peralatan dan barang yang digunakan untuk produksi yang dihitung sebagai PPN masukan. Perusahaan menilai, karena mereka tidak lagi bisa mengenakan PPN keluaran, PPN masukan itu menjadi pajak baru yang harus dikembalikan pemerintah. Ini sesuai dengan kontrak karya generasi I.

Kembali ke kontrak

Menurut Darmin, semua pihak sebaiknya kembali memerhatikan kontrak pertambangan yang telah ditandatangani oleh perusahaan tambang batu bara dengan Perusahaan Negara Tambang Batu Bara selaku kuasa pertambangan (sekarang Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM). Dalam kontrak itu jelas disebutkan, kuasa pertambangan akan membayar, menanggung, dan membebaskan kontraktor atas segala jenis pajak, selain dari jenis pajak yang disebutkan dalam kontrak.

Dalam kontrak disebutkan ada enam jenis pajak yang harus dibayar kontraktor. Pertama, Pajak Perseroan. Kedua, Pajak Pemotongan. Ketiga, IPEDA (sekarang Pajak Bumi dan Bangunan). Keempat, Pajak Penjualan (PPn, yang sekarang diubah menjadi PPN). Kelima bea meterai. Keenam, cukai atas produk tembakau dan minuman keras.

”Dalam kontraknya dikatakan, perusahaan negara pertambangan melakukan penggantian (reimbursement), bukan restitusi PPN. Itu yang perlu dipertegas kembali, apakah ada pajak baru yang dibebankan kepada para kontraktor? Kalau ada, bagaimana penggantiannya,” tuturnya.

Kemarin, perwakilan dari PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, dan PT Kideco Jaya Agung bertemu dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi. Prinsipnya, perusahaan akan menjalankan kewajibannya jika pemerintah juga melakukan hal yang sama. Perwakilan perusahaan batu bara yang hadir membuat komitmen tertulis bahwa mereka akan menyelesaikan tunggakan royalti kepada negara.

Menurut Lutfi, ia telah berbicara dengan Menteri Keuangan yang mengatakan, pemerintah akan menghormati kontrak karya dengan seluruh perusahaan batu bara. Maka, semua pihak harus kembali mengacu pada ketentuan pokok PKP2B generasi I. Pengusaha dan pemerintah harus memiliki interpretasi sama atas isi kontrak, lantas menentukan mekanisme penyelesaian. (OIN/DOT)

error: Content is protected