Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan PP untuk menarik pajak dari surplus Bank Indonesia
JAKARTA. Akhirnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat Paripurna DPR yang berlangsung Selasa (2/8) kemarin. Inilah puncak pembahasan yang telah berlangsung selama satu setengah tahun.
Pemerintah tentu senang dengan pengesahan UU PPh. Dengan Undang-Undang ini, pemerintah berpotensi menambah pendapatan negara. "UU ini mendorong lahirnya alternatif pembiayaan bagi pemerintah,"kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, seusai rapat paripurna.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pun segera merancang sejumlah peraturan pemerintah (PP). Antara lain PP yang mengatur soal kewajiban menyertakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi masyarakat yang membeli barang mewah seperti berlian, kapal pesiar, dan pesawat. "Di RUU PPh memang ada perlakuan khusus, termasuk soal membeli barang mewah,"kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution.
UU PPh ini juga menyebutkan pemerintah bakal memberikan insentif bagi Wajib Pajak yang mengantongi NPWP. Insentif itu berupa pembebasan pembayaran fiskal ke luar negeri mulai tahun 2009. Diluar soal itu, pengesahan UU PPh ini membawa konsekuensi bagi setiap wajib pajak. Pasalnya, mulai tahun depan. segudang kebijakan baru tentang pajak penghasilan bakal berlaku.
Contohnya adalah tarif PPh badan atau perusahaan. Sebelumnya, tarifnya bersifat progresif dengan tarif sebesar 30% dari laba kotor. Dalam UU PPh yang baru, tarifnya flat alias tunggal sebesar 28% yang berlaku pada 2009, dan tarif sebesar 25% pada 2010. Nah, bagi perusahaan yang melepas saham minimal 40% di lantai bursa, pemerintah akan memberi diskon tarif PPh-nya sebesar 5%.
Untuk perusahaan kelas Usaha Mikro Kecil dan Menengah, tarif PPh-nya 50% lebih kecil dari tarif PPh perusahaan besar. Alhasil tarif PPh untuk UMKM sekitar 14% pada 2009, dan 12,5% di tahun berikutnya.
Sedangkan tarif PPh untuk pribadi tetap bersifat progresif tergantung besar kecilnya penghasilan, mulai dari Rp 15,8 juta hingga di atas Rp 500 juta per tahun, dengan tarifnya mulai 6% hingga 30%. Batasan terendah tersebut lebih tinggi dari yang berlaku saat ini, yang cuma sebesar Rp 13,2 juta per tahun atau Rp 1,1 per bulan. "Ini mengikuti tren kenaikan inflasi,"kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution.
PP Khusus buat BI
Salah satu potensi yang tidak akan disia-siakan oleh pemerintah ialah penerimaan PPh dari keuntungan atau surplus Bank Indonesia. Karena itu, dalam waktu dekat, Ditjen Pajak akan merancang PP untuk mengatur kewajiban PPh bagi BI bila mengalami surplus. "Karena UU ini baru efektif tahun depan, jadi saya masih akan lihat dulu mulai kapan BI harus membayar pajak bila mengalami surplus. Ini akan diatur dalam PP,"terang Drmin, panjang lebar.
Sekadar mengingatkan, RUU PPh menyebutkan, BI masuk dalam daftar objek PPh yakni sebagai wajib pajak badan dengan tarif yang sama dengan perusahaan lain. BI wajib membayar PPh kepada pemerintah bila neraca keuangan BI menunjukkan surplus.
Menurut Ketua Panitia Khusus Perpajakan Melchias Markus Mekeng, pajak atas surplus BI memang berlaku mulai 2009 dan tidak berlaku surut. Artinya, bila tahun depan BI mengalami surplus, Ditjen Pajak tidak bisa menarik pajak karena surplus itu hasil kerja BI sepanjang 2008. "Penarikan pajaknya baru berlaku pada 2010, karena surplus itu memang hasil kegiatan tahun 2009,"terang Melchias.
Martina Prianti