JAKARTA: Departemen Keuangan dan Departemen Energi Sumber Daya Mineral sepakat untuk memilih opsi pertama berupa pengembalian PPN masukan sejak berlakunya PP No. 144/2000, sementara pengusaha batu bara membayar royalti dan menghitung ulang pajak penjualan dari awal kontrak.
"Itu [pilihan opsi] merupakan arahan dari Menkeu dan Menteri ESDM waktu ketemu dengan RI 1 [Presiden]. Jadi audit yang dilakukan BPKP adalah opsi pertama dan kelihatannya mereka [pengusaha] ok dengan opsi pertama itu," jelas sumber Bisnis yang mengikuti pertemuan pada Rabu pekan ini, kemarin.
Sumber itu menjelaskan opsi pertama yang yang dimaksud adalah penyelesaian dikembalikan kepada kontrak awal atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) generasi I, di mana pemerintah mempunyai kewajiban mengembalikan pajak pertambahan nilai (PPN) masukan sejak berlakunya PP 144/2000.
Sementara itu, pihak perusahaan batu bara akan menghitung ulang pajak penjualan, dari awal kontrak dan membayar royalti, terkait dengan penyelesaian kasus enam perusahaan batu bara penunggak royalti, PPn, dan PPN sebesar Rp7 triliun.
Dua opsi lainnya, yang sempat diusulkan Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni kontraktor mempunyai kewajiban membayar royalti, dan melaksanakan mekanisme PPN, sedangkan pemerintah membayar restitusi PPN sejak 2001, dengan syarat dilakukan amendemen terhadap kontrak PKP2B.
Adapun opsi terakhir, kontraktor membayar royalti dan membayar PPn dari 2001 sedangkan pemerintah menyiapkan mekanisme reimbursement.
Menurut sumber tersebut, enam perusahaan batu bara tersebut kemarin telah dijadwalkan untuk menyerahkan data tambahan ke Departemen ESDM guna diaudit oleh BPKP.
Tim BPKP, lanjutnya, diminta untuk melakukan audit atas data PPn, data penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang terutang dan data PPN masukan yang sudah dikenakan kepada enam perusahaan batu bara itu.
Hasil audit tersebut, tambahnya, akan disampaikan kepada Menkeu dan Menteri ESDM untuk segera bisa dilakukan penyelesaian.
"Data yang diaudit untuk PPn mulai sejak perusahaan beroperasi sampai dengan sekarang dan untuk PNBP dan PPN masukan dari 2001 sampai dengan sekarang," jelasnya.
Sebelumnya, Dirjen Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Setiawan, mengatakan terkait dengan penyelesaian masalah tunggakan royalti tersebut, BPKP memberikan tiga rekomendasi atau opsi. (Bisnis, 25 Agustus)
Tim optimalisasi
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto mengatakan masalah royalti kini ditangani oleh tim optimalisasi di bawah koordinasi BPKP. Untuk itu, katanya, pemerintah tidak bisa langsung menerapkan gijzeling atau paksa badan karena menilai keenam perusahaan batu bara tersebut punya hak reimbursement yang harus dihormati.
"Jadi dari perspektif itu mereka juga melakukan kajian-kajian menurut pengacara mereka. Ini yang menyebabkan agak tertunda seperti ini," jelasnya.
Pada dasarnya, sambungnya, pemerintah meminta keenam perusahaan batu bara tersebut tetap membayar utang royalti. Pemerintah memberikan toleransi untuk pembayarannya tidak harus dibayar lunas sekaligus, cukup sebagian dahulu.
"Kemarin [Rabu] rapat di BPKP kami sudah sampaikan, bahwa dalam mekanisme Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dimungkinkan untuk melakukan pembayaran sebagian."
Hadiyanto menambahkan pemerintah tidak menentukan tenggat untuk pelunasannya. Sementara itu, terkait dengan reimbursement masih butuh waktu karena proses perhitungannya rumit dan membutuhkan sumber daya manusia yang banyak. Selain itu, perlu dukungan dari Ditjen Pajak dan Departemen ESDM.