Follow Us :

KAMPANYE, kata sebagian orang, tak ubahnya seperti masa pacaran. Banyak janji manis diumbar, kendati tidak mudah untuk direalisasikan. Lantas bagaimana dengan janji pasangan SBY-Boediono, yang menurut perhitungan cepat, dipastikan bakal menjadi pemimpin negeri ini di periode berikutnya?

Tanpa bermaksud memuji, pasangan ini tergolong beruntung. Sebab, SBY-juga Boediono-sangat berhati-hati dalam memberikan janji. Dengan konsep ekonomi “jalan tengah”, saran utama kubu ini tetap membangun perekonomian negeri demi rakyat. Termasuk di dalamnya program-program pengentasan kemiskinan, melanjutkan program kredit usaha rakyat (KUR), hingga meneruskan bantuan langsung tunai alias BLT. Bahkan, beberapa menegaskan, pemerintah tetap akan mengusahakan dana untuk pendidikan sebesar 20% dari anggaran belanja negara.

Itu berarti APBN 2010 etap akan menanggung beban yang bera. Bahkan bukan tidak mungkin bakal lebih berat dari APBN 2009. Sebab, seperti diramalkan para ekonom, kendati ada kemungkinan membaik, tahun depan perekonomian belum akan pulih sepenuhnya.

Mungkin, itu sebabnya pasangan SBY Boediono tidak brani menjanjikan semua program akan dibiayai oleh kekuatan sendiri. Kebijakan utang luar negeri, misalnya, akan tetap dilakukan. Sikap ini, boleh dibilang, cukup realistis . Sebab, kendati memiliki kekayaan hutan dan tambang yang dahsyat, negeri ini belum mampu mengongkosi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Jadi tak mengherankan kalau utang luar negeri Pemerintah Indonesia, secara nominal, terus meningkat. Untuk menambal APBN 2010 misalnya, jauh-jauh hari Bappenas telah merencanakan pencairan utang luar negeri sebesar US$ 4,7 miliar. Sebelumnya, untuk menambal APBN 2009 pemerintah juga menganggarkan penerbitan obligasi hingga senilai Rp 102 triliun. Kendati terus membesar, kewajiban ini masih rasional. Bahkan, jika dibandingkan dengan PDB, presentase kewajiban luar negeri pemerintah ini sebenarnya mengalami penurunan.

Seperti yang pernah diungkapkan Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo dalam sebuah artikelnya. Menurut lelaki yang pernah dicalonkan sebagai Gurbenur BI pada masa pemerintahan Megawati ini, utang Pemerintah Indonesia pada tahun 2000-2004 selalu berada di bawah Rp 1.300 triliun. Pada tahun berikutnya hingga 2007, jumlah ini kemudian meningkat menjadi Rp 1.400 triliun. Dan pada akhir 2008 melonjak lagi menjadi Rp 1.636 triliun. Tapi, lonjakan itu bukan semata-mata lantaran adanya penambahan utang.

Salah satu factor yang besar pengaruhnya adalah penguatan mata uang yen dan dolar AS. Tanpa melakukan apa-apa pun, gara-gara pelemahan itu utang negeri pemerintah mengalami kenaikan sebesar Rp 143,8 triliun.

PAJAK YANG BIKIN DEG-DEGAN

Sangat berat, memang. Namun, ya itu tadi, rasionya terhadap PDB terus menurun. Saat ini, perbandingan utang terhadap PDB sekitar 32%, sementara ketika terjadi krisis dulu angkanya mencapai 100%. Bandingkan dengan rasio utang negara-negara G 20 yang kini sudah berada di atas 60%. Bahkan rasio utang AS sudah mencapai 100% dan jepang 200%.

Begitu pula jumlah cicilan pokk dan bunga yang harus dibayar Pemerintah Indonesia, angkanya masih berada jauh di bawah 20% ekspor. Kenyataan inilah yang membuat Cyrillus berani mengatakan bahwa dilihat dari sisi neraca pembayaran, Indonesia belum berada di “lampu merah”.

Terlepas dari persoalan aman tidaknya posisi utang Indonesia, yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah bagaimana pemerintah akan membiayai semua itu? Paahal, perekonomian dunia ataupun di dalam negeri masih sulit untuk diukur. Seperti diungkapkan Menteri Sri Mulyani, postur RAPBN 2010 terdiri dari penerimaan sebesar Rp 871,9 triliun dengan total belanja Rp 949,1 triliun. Artinya, deficit anggaran direncanakan sebesar 1,3%.

Nah, untuk itu ada beberapa asumsi yang telah ditetapkan pemerintah untuk mengongkosi APBN 2010. Seperti lifting minyak yang ditetapkan sebesar 960 ribu barel per hari dengan patokan harga antara US$ 70 per barel. Harga minyak, kata Menteri Sri Mulyani, merupakan variable yang sulit ditebak. Akibatnya jika terjadi salah hitung hanya akan muncul dua kemungkinan. APBN menjadi surplus atau bolong.

Lantas bagaimana dengan pajak, yang merupakan pilar utama bagi penerimaan negara? Beberapa tahun terakhir, memang selalu melampaui target. Tapi untuk tahun ini dan 2010, masih dipertanyakan. Masalahnya, pelambatan perputaran roda ekonomi akan membuat penerimaan pajak pemerintah ikut menciut.Bahkan Ikhsan Modjo, Direktur INDEF, meramalkan penerimaan pemerintah dari pajak tahun ini akan merosot sekitar 15%.

Keraguan pemerintah untuk bisa mencapai target, sudah tampak sejak awal tahun. Pemerintah memperkirakan di tahun ini enerimaan dari pajak dan bukan pajak hanya akan berkisar Rp 852,8 triliun atau 15,5% (Rp 132 triliun) di bawah target yang ditetapkan dalam APBN 2009.

Perkiraan ini, belakangan, mulai mendekati kenyataan. Lihat saja realisasi penerimaan pajak periode Januari-Mei 2009 yang hanya sebesar Rp 239,8 triliun atau 11,9 triliun lebih rendah dari perolehan periode yang sama tahun lalu. Angka itu juga menunjukkan bahwa sepanjang lima bulan tersebut yang tercapai baru 36,2% dari target 2009 yang sebesar Rp 661,8 triliun.

Sementara para periode yang sama tahun lalu 2008, pencapaiannya meyentuh 41,3% dari target.

Inilah yang membuat banyak kalangan (termasuk orang-orang Ditjen Pajak) merasa ragu kalau target 2009 akan tercapai. “Bisa Departemen Keuangan.

Makanya, rencana pemerintah untuk menaikkan pendapatan dari pajak pada 2010 sebesar 14% dianggap tidak realistis. Pertimbangannya, perekonomian tahun depan, belum tentu akan lebih baik dari tahun ini.

error: Content is protected