JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak sepakat untuk mengajukan perkara dugaan penggelapan pajak, yang dilakukan Asian Agri Grup, ke tingkat penuntutan. Untuk saat ini, sudah ada dua tersangka dari dua berkas yang akan diajukan ke pengadilan.
Penegasan tersebut diungkapkan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat ditemui usai gelar perkara antara Kejagung dengan Dirjen Pajak seputar perkara dugaan penggelapan pajak, yang dilakukan Asian Agri Grup. Menurut Hendarman, berdasarkan hasil gelar kasus, disepakati kalau kedua tersangka tersebut, dijerat dengan Pasal 39 ayat 1 huruf C junto Pasal 43 Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
”Terjadi dialog alot tentang unsur setiap orang, unsur dengan sengaja, unsur menyampaikan pemberitahuan pajak tidak lengkap dan tidak benar serta unsur merugikan keuangan negara. Dari keempat unsur tersebut, tercapai kesepakatan dan persepsi yang sama (antara Dirjen Pajak dan Kejagung), untuk ditindaklanjuti dalam satu bulan ini,” ungkap Hendarman. Termasuk yang disepakati adalah menyidik dan mengajukan dua tersangka dari sepuluh tersangka yang ada ke penuntutan. ”Ini bertahap, tidak sekaligus,” ungkap Hendarman.
Pihaknya menjelaskan, untuk kasus Asian Agri yang merugikan keuangan negara 1,4 triliun rupiah, penyidik sudah menetapkan 10 tersangka dalam 21 berkas. ”(Kasus ini akan) dikerjakan bersama-sama, agar tidak terjadi lagi pengembalian, diharapkan segera P-21,” ungkap Hendarman.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Darmin Nasution, dengan adanya pertemuan ini, berarti antara Kejagung dan Dirjen Pajak, sudah ada pandangan yang sama, bahwa kasus ini akan maju ke pengadilan. Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Jasman Panjaitan mengatakan, ada dua hal yang akan ditanyakan penyidik pada Dirjen Pajak, terkait kasus Asian Agri.
Dua hal yang akan ditanyakan Jaksa Agung, kata Jasman, menyangkut perbedaan dalam hal penyidikan antara tim penuntut umum (jaksa P-16) dan penyidik pajak. ”Selain itu, akan ditanya tentang Surat Ketetapan Pajak Terutang (SKPT) yang belum ditetapkan,” ujar Jasman.
Menurutnya, dalam peraturan perpajakan itu mempunyai aturan tersendiri yang berbeda dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ” Ada istilah pajak terutang, apakah pajak seperti itu, bisa dipidanakan?,” tanya Jasman. Karena itu, kata Jasman, dalam kasus tersebut akan dicari jalan keluar terhadap kasus tersebut. Jasman menargetkan, dalam gelar kasus tersebut, harus ada penyelesaian dan jalan keluar terhadap kasus tersebut. ”Dengan begitu akan jelas pula penuntasan terhadap perkara itu, apakah akan dihentikan penyidikannya atau diteruskan ke pengadilan,” tukas Jasman.
Seperti diketahui, tim penyidik Kejagung mengembalikan berkas kasus tersebut karena penyidik Ditjen Pajak belum melengkapi alat bukti dengan akta asli, yang menunjukkan sah penandatangan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Sedangkan yang kedua, penyidik pajak tidak memakai metode penghitungan keuangan negara dalam menentukan besar kerugian negara. Ditjen Pajak sendiri menduga Asian Agri menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar 1,3 triliun rupiah, dengan berbagai cara.
Pertama, membuat biaya fiktif pada belasan anak perusahaan. Lewat cara ini, keuntungan Asian Agri berkurang, begitu pula pembayaran pajak mereka. Kedua, lewat transaksi berjangka minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dengan pihak terafiliasi yang ada di luar negeri. Asian Agri membuat kontrak pembelian CPO dengan harga lebih rendah dari pasaran.
Kontrak pembelian itu membuat Asian Agri seolah-olah merugi. Padahal, kontrak pembelian seperti itu merupakan modus lain dari mengirim keuntungan ke luar negeri. Ketiga, Ditjen Pajak juga membongkar adanya faktur pajak fiktif. Faktur ini diduga merugikan negara 20 miliar rupiah.