Follow Us :

JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengaku, pemerintah baru dengar adanya Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Nasional yang baru-baru ini diusulkan sejumlah anggota DPR. Bahkan, Teten mempertanyakan asal-usul datangnya RUU tersebut.

"Setahu saya, Presiden Joko Widodo sangat berkomitmen dengan agenda pemberantasan korupsi. Apalagi Presiden tengah gencar menggenjot pembangunan infrastruktur. Itu (pembangunan) betul-betul butuh Komisi Pemberantasan Korupsi yang kuat, yang bisa mengawasi," kata Teten, Rabu (7/10), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, saat ditanya tentang sikap Presiden Jokowi terhadap RUU Pengampunan Nasional.

Menurut Teten, Presiden sangat berkomitmen terhadap KPK, polisi, dan kejaksaan yang kuat dalam pemberantasan korupsi sekarang ini. "Jadi, komitmen Presiden dalam pemberantasan korupsi tidak usah diragukan," ujar Teten.

Sehari sebelumnya, 33 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan RUU Pengampunan Nasional. Namun, kini, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun, kembali mengusulkan perubahan nama dari RUU Pengampunan Nasional menjadi RUU Pengampunan Pajak. Alasannya, pengaturan akan difokuskan untuk pengampunan bagi wajib pajak yang melakukan kejahatan perpajakan.

Seperti diberitakan, lewat RUU tersebut, para pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang diusulkan mendapat pengampunan negara. Mereka tidak akan dihukum jika mengajukan permohonan pengampunan dan menyerahkan uang tebusan paling sedikit 3 persen dari jumlah harta kekayaan yang dimiliki (Kompas, 7/10).

Isu lama

Sejauh ini, meski soal pengampunan pajak sudah menjadi isu lama beberapa pemerintahan untuk meningkatkan pajak, setidaknya dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla soal pengampunan pajak dicetuskan kembali saat Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai bertemu Menteri Keuangan Singapura Tharman Shanmugaratnam pada Senin, 15 Desember 2014.

Seusai bertemu Tharman, dalam pertemuan tertutup di Gedung Perbendaharaan Negara Singapura, Bambang mengatakan, perjanjian perpajakan Indonesia-Singapura lama tak diperbarui. Oleh karena itu, pertemuan teknis akan dilanjutkan otoritas pajak Indonesia-Singapura, yaitu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Inland Revenue Authority of Singapore.

Bambang menyatakan, optimalisasi perpajakan merupakan salah satu langkah cepat meningkatkan pendapatan negara. "Ke depan, Indonesia memikirkan langkah lain menarik aset wajib pajaknya yang diparkir di negara lain. Ada dua hal perlu dilakukan. Selain pengampunan pajak, pembukaan daerah khusus investasi. Untuk langkah pertama, dibutuhkan perubahan aturan perpajakan. Karena itu, butuh waktu untuk capai kesepakatan antara pemerintah dan DPR," ujarnya (Kompas, 16 Desember 2014).

Meskipun tertutup, rapat terbatas soal tax amnesty (pengampunan pajak) juga pernah dilakukan pembahasannya di Kantor Presiden pada Rabu (30/9). Koordinator Staf Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sofjan Wanandi, membenarkan pernah mengikuti rapat tersebut di Istana Merdeka, akhir Agustus. Sofjan mengatakan, soal pengampunan pajak masih dibahas mudarat dan manfaatnya.

Di sela-sela mengikuti sidang PBB di New York, AS, Rabu (29/9) malam waktu setempat, Kalla mengatakan, pengampunan pajak tak perlu dikhawatirkan karena pengampunan pajak hanya untuk menarik dana-dana di luar yang selama ini tak dilaporkan oleh wajib pajak, seperti hasil ekspor. "Dana hasil perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang dan disimpan di luar negeri tidak akan dihapuskan sanksi pidananya," ujarnya.

Kalla menambahkan, pengampunan pajak terkait penanaman modal pernah diterapkan pada awal pemerintahan Presiden Soeharto untuk menarik investasi. Soal RUU Pengampunan Pajak, Wapres mengatakan, sejauh yang diketahuinya, hal itu masih difinalisasi pemerintah.

error: Content is protected