Follow Us :

JAKARTA: Kamar Dagang dan Industri Indonesia mengusulkan penerapan retribusi dalam sekali pembayaran untuk menggantikan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor (PKB/BBNKB) yang kini diterapkan pada alat berat.

Ketua Kadin M.S. Hidayat mengatakan pada prinsipnya pengusaha bisa memahami apa yang diinginkan pemerintah, baik dalam kaitan penambahan penerimaan maupun pengendalian pertumbuhan kendaraan bermotor untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi. Namun, tuturnya, penerapan PKB/BBNKB pada alat berat tersebut tidak didukung oleh payung hukum yang baik.

"Misalnya daerah menerapkan Perda tentang retribusi untuk alat berat yang hanya berlaku sekali ketika dia masuk. Saya rasa untuk kepentingan penerimaan, retribusi semacam itu tidak apa-apa asal aturannya jelas," katanya, kemarin.

Menurut Hidayat, pengenaan PKB /BBNKB pada alat berat dinilainya tidak tepat dan meminta agar pemerintah mengembalikan aturan itu pada posisi semula, sesuai dengan UU No.18/1997 tentang pajak dan retribusi daerah sebelum diganti UU No.34/2000. Dalam Pasal 2 huruf (a) UU itu disebutkan alat berat tidak termasuk kategori kendaraan bermotor karena tidak beroperasi di jalan umum.

Dengan adanya perubahan UU itu, berdasarkan bunyi Pasal 2 pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP) No.65/2001 yang memasukkan alat berat dan besar sebagai kendaraan bermotor dan dikenai pajak sebesar 0,5%. Berdasarkan PP itu pula banyak pemerintah daerah menerbitkan Perda mengenai implementasi pajak dan retribusi daerah itu.

"Kami [Kadin] akan mengirimkan surat resmi kepada Menkeu dan Mendagri agar alat berat dan besar yang tidak beroperasi di jalan umum tidak dimasukkan ke dalam kategori kendaraan bermotor. Dengan begitu ada kepastian hukum," katanya.

Payung hukum

Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Tjahyono Imawan mengatakan perusahaan-perusahaan jasa bisa menerima usulan itu asal ada payung hukum yang jelas. Dengan itu, tuturnya, pihaknya bisa memasukkan retribusi itu sebagai biaya atau beban perusahaan, yang pada akhirnya juga bisa berpengaruh pada penerimaan negara.

"Sebenarnya kalau boleh lebih tegas kami ingin pajak untuk alat-alat berat itu dihapuskan. Soalnya alat berat itu beroperasi di wilayah sendiri, dengan fasilitas yang dibangun sendiri, bukan fasilitas umum. Itu termasuk ke dalam alat produksi yang seharusnya bebas pajak," katanya.

Karena kerancuan hukum itu pula, lanjutnya, pihaknya hingga kini belum melakukan pembayaran PKB/ BBNKB sejak peraturan diterbitkan pada 2001.

Tjahyono menggambarkan nilai biaya yang belum dibayarkan untuk alat tambang yang beroperasi di Kalimantan Timur saja mencapai Rp58 miliar per tahun.

Rudi Ariffianto & Sutan Eries Adlin

error: Content is protected