JAKARTA: Perusahaan multinasional bidang teknologi informasi melihat Indonesia sebagai tempat investasi riset yang prospektif pada masa depan. Namun, mereka kurang berminat melakukan investasi, karena penerapan pajak yang tinggi dan perizinan yang berbelit-belit.
Dadit Herdikiagung, Asisten Deputi Urusan Pengembangan Sistem Legislasi Iptek Kementerian Riset dan Teknologi, mengatakan Indonesia kurang dirasa menarik oleh para perusahaan asing khususnya yang bergerak pada sektor teknologi informasi untuk membangun pusat penelitian dan pengembangan.
"Namun, mereka yakin pada masa mendatang Indonesia akan dianggap sebagai tempat yang cocok untuk melakukan penelitian dan pengembangan," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.
Dia menuturkan mereka menilai Indonesia memiliki sumber daya manusia di bidang TI yang berkualitas. Akan tetapi keinginan mereka untuk mendirikan pusat penelitian masih terganjal soal regulasi tentang perpajakan yang membebani mereka.
Pemerintah, katanya, baru akan memberikan insentif yang besar apabila kegiatan investasi dilakukan di daerah.
"Namun, lagi-lagi masih dispesifikasikan pada kegiatan tertentu dan berlaku untuk perusahaan besar saja," katanya.
Dadit menilai aturan pajak yang meringankan paling hanya pada bagian pajak pertambahan nilai.
"Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, pemberian keringanan pajak dilihat dari keseluruhan aspek, seperti biaya honorarium, pembelian alat, dan pembelian bahan," katanya.
Dia mengharapkan pemerintah akan lebih memerhatikan industri TI agar bisa lebih berkembang dengan memberikan insentif perpajakan yang akan meringankan bagi para perusahaan yang ingin membangun risetnya di Indonesia.
Dadit memaklumi sektor industri TI belum dijadikan prioritas oleh pemerintah karena saat ini mereka masih memberi porsi insentif yang lebih besar untuk sektor pertanian.
Dia menyebutkan jalan lain yang bisa dijadikan alternatif oleh perusahaan multinasional TI adalah dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 35/2007 dari insentif non-fiskal, yaitu pengembangan TI dengan melakukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi, lembaga penelitian pemerintah, laboratorium pemerintah. "Kalau kerja sama ini dari berbagai pihak ini dapat diwujudkan, saya yakin manfaat bagi Indonesia akan jauh lebih besar," ujarnya.
Kuat di software
Dadit menilai sumber daya manusia TI di Indonesia memiliki kualifikasi yang kuat pada penguasaan pengembangan produk peranti lunak. Perusahaan multinasional mengakui SDM di Indonesia memiliki kualitas yang sangat baik.
Peranti lunak yang dibuat dan dikembangkan oleh ahli software Indonesia kualitas produknya bisa disejajarkan dengan hasil yang dikembangkan di pusat riset TI Bengalore, India.
Indonesia, tuturnya, juga memiliki pusat pengembangan industri TI, seperti Bandung Valley dan BaliCamp. Pendirian konsep tersebut juga dilengkapi dengan road map. Pusat riset tersebut memiliki reputasi yang baik di dalam maupun luar negeri.
Pemerintah juga melakukan upaya agar TI ini berkembang, di antaranya melalui Peraturan Pemerintah No. 35 dan 37 2007 tentang Pengalokasian sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi.
Di dalam PP ini disebutkan bahwa badan usaha industri yang melakukan kegiatan litbang dapat memperoleh insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis litbang.
Badan usaha yang mengalokasikan dananya untuk keperluan riset adalah PT, BUMN, BUMT, dan Koperasi.