Follow Us :

JAKARTA – Pelaku industri film Indonesia meminta pemerintah daerah menurunkan pajak tontonan menjadi maksimum 10 persen. Sebab, dengan menerapkan pajak tontonan yang tinggi, pemda tidak mendorong kemajuan industri film dalam negeri.
Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional Deddy Mizwar mengatakan besaran pajak tontonan di setiap daerah berbeda-beda. Pajak tertinggi sebesar 30 persen terjadi di Sumatera Utara. Akibatnya, bioskop di kabupaten dan kota di Sumatera Utara mati.

"Para pemda seharusnya melihat seberapa signifikan pajak itu membantu APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah)," kata Deddy di Jakarta kemarin.

Selain itu, saat ini industri perfilman dalam negeri dibebani pajak pertambahan nilai (PPn) untuk membuat film dan menyewa alat. Sedangkan film impor hanya dikenai pajak untuk ongkos cetak.

Deddy melihat PPn tersebut tidak sebanding dengan ongkos produksi film buatannya. "Harusnya ada keseimbangan perlakuan antara film dalam negeri dan luar negeri. Film asing dapat dikenai PPn sesuai dengan nilai pembuatannya," kata Deddy.

Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan, Budi Sitepu, sejauh ini pemerintah tidak menaikkan jenis pajak hiburan atau masih sama dengan ketentuan yang berlaku, yaitu maksimum 35 persen. Jenis pajak ini ditetapkan berdasarkan peraturan daerah masing-masing.

Karena itu, kata dia, para seniman dan budayawan tak perlu resah bakal ada kenaikan pajak hiburan. "Kalau bisa, lebih rendah, bahkan kalau perlu dibebaskan (pajak) untuk karya-karya seniman dan budayawan," kata Budi.

Namun, untuk hiburan tertentu, pemerintah memang menetapkan tarif pajak maksimum berbeda, yaitu 75 persen. Hiburan yang dikenai tarif pajak ini misalnya karaoke, panti pijat, dan sauna.

"Kalau untuk hiburan seperti ini, tarif pajak yang lama terlalu rendah sehingga kita menetapkan tax for the bad dengan tarif yang lebih tinggi," kata dia.

Sorta Tobing, Gunanto ES

error: Content is protected