Rencana pemerintah menaikkan pajak barang mewah menjadi sorotan masyarakat. Sebab, hingga kini belum jelas kategorisasi jenis barang yang bakal kena upeti itu.
Pemerintah berencana akan menaikkan tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) tertinggi 200% dan terendah 10%. Wacana ini mulai santer dibicarakan masyarakat setelah Rancangan Perubahan UU PPN dan PPnBM disampaikan pemerintah kepada DPR. Banyak hal yang akan diubah dalam rancangan tersebut, salah satunya tarif.
Angka kenaikan tertinggi 200% ini sangat jauh dibanding tarif pajak yang diberlakukan dalam UU No 18/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No 8/1983 mengenai PPN dan PPnBM. Dalam UU yang saat ini masih berlaku, pemerintah menetapkan tarif tertinggi PPnBM sebesar 75% dan terendah 10%.
Sejak pajak pertambahan nilai (PPN) diterapkan pada 1985, PPnBM telah memberikan kontribusi bagi penerimaan negara dalam APBN.
Pada semester 1/2008, penerimaan pajak dari PPN dan PPnBM mencapai Rp87,ll triliun. Angka ini naik dibanding periode yang sama (Januari-Juni) 2007, yang hanya mencapai Rp44,37 triliun. Dengan kata lain, terjadi peningkatan sebesar 49,12% bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bahkan, jika melihat realisasi pajak di 2006-2007, signifikansi PPN-PPnBM dalam penerimaan pajak bisa dilihat lebih jelas. Dari realisasi pajak 2006 sebesar Rp358,2 triliun, PPN-PPnBM menyumbang Rpl23,03 triliun kepada kas negara. Sementara posisi pertama masih diduduki PPh nonmigas yang mampu memberikan masukan Rpl65,64 triliun. Adapun penerimaan PPh migas (Rp43,18 triliun), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar Rp24.04 triliun, serta pajak lainnya (Rp2,287 triliun) masih berada di bawah PPN dan PPnBM.
Pada 2007, angka tersebut mengalami peningkatan. Dari realisasi pajak mencapai Rp426,23 triliun, PPN-PPnBM menjadi nomor dua terbesar sektor penyumbang pajak. Posisi pertama masih diduduki PPh nonmigas yang menyumbangkan Rpl65,64 triliun pada kas negara. Di susul kemudian PPN dan PPnBM (Rpl55,l triliun), PPh migas (Rp44,01 triliun), PBB dan BPHTB (Rp29,55 triliun), dan pajak lainnya (Rp2,74 triliun).
Melihat sumbangsih PPN-PPnBM ini, tidak mengherankan jika pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak dari sektor tersebut. Namun,yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan tersebut akan menpengaruhi sektor industri dalam negeri?
Asumsinya, dengan kebijakan ini, pemerintah berharap mampu memberikan proteksi terhadap sektor industri dalam negeri, seiring membanjirnya barang-barang produksi dari luar. Namun, muncul ketakutan dari para pengusaha, kebijakan ini hanya akan memicu kenaikan harga beberapa barang produksi di pasaran,yang ujung-ujungnya akan menekan angka penjualan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri MS Hidayat mengungkapkan, kalangan pelaku industri menyadari keinginan pemerintah untuk menaikkan pendapatan pajak. Meski begitu, yang perlu dicatat, wacana kenaikan PPnBM tersebut diharapkan tidak mengganggu kinerja dunia industri.
Sebab, sektor industri baru saja mengalami pukulan telak karena melonjaknya harga minyak mentah dunia yang bermuara pada kenaikan harga bah an bakar (BBM). Akibatnya,sektor industri harus melakukan berbagai penyesuaian, termasuk dalam pembentukan harga baru di pasaran. Jika dalam waktu dekat pemerintah menaikkan PPnBM, sektor industri pun harus kembali melakukan berbagai penyesuaian.
"Kadin bisa mengerti jika ada rencana seperti itu, tetapi kategorisasinya juga harus jelas, jangan sampai merusak industri yang potensial, jadi harus dikaji secara hati-hati," ungkapnya.
Karena itu, menurut Hidayat, kebijakan tersebut seharusnya dilakukan secara berimbang dan komprehensif. Artinya, peningkatan PPnBM tersebut harus disertai berbagai kebijakan lain yang mampu menjamin berkembangnya iklim investasi di Indonesia.
Sebab, jika kebijakan peningkatan PPnBM diberlakukan secara parsial, ujung-ujungnya hanya akan memunculkan ketakutan pihak investor. "Harus diterapkan secara berimbang, artinya dalam penerapannya jangan sampai mengganggu kinerja industrial yang masih potensial untuk dikembangkan," ungkap Hidayat.
Jika kebijakan ini untuk memproteksi industri dalam negeri, seharusnya pemerintah juga menerapkan ke-bijakan lain yangmampu menggerakkan sektor industri. Salah satunya menyelesaikan paket kebijakan mendorong pergerakan sektor riil melalui Instruksi Presiden No 6/2007. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah telah mengatur langkah-langkah perbaikan iklim investasi, reformasi sektor ke-uangan, percepatan pembangunan infrastruk tur dan pemberdaya an usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tetapi, realisasi kebijakan tersebut hingga kini belum semuanya berjalan.
Kejelasan Kategorisasi
Rencana pemerintah menaikkan tarif PPnBM menjadi santer dibicarakan. Masalahnya, hingga kini masyarakat belum mendapat kejelasan kategorisasi barang mewah tersebut. Itu sebabnya, masyarakat dan kalangan pengusaha meminta kejelasan tersebut. Selain itu,kenaikan tarif ini harus dicermati secara hati-hati.
Jika tidak, rencana ini akan menjadi kontraproduktif bagi pemerintah yang sejatinya ingin menggenjot penerimaan pajak. Sebab, kenaikan PPnBM juga sangat mungkin akan menurunkan daya beli masyarakat. Tanpa kejelasan kategori, pengenaan tarif PPnBM maksimal pada produk tertentu yang pasarnya telah berkembang ke segmen menengah ke bawah, berpotensi merusak perkembangannya.
Artinya, pemerintah harusmampu menerapkan skema PPnBM secara adil. Itu sebabnya, kategorisasi barang mewah menjadi penting. Sebab, selama ini seperti radio transistor, minuman ringan (soft drink), televisi, telepon seluler masih dianggap barang mewah. Padahal, saat ini barang-barang tersebut banyak dikonsumsi masyarakat menengah bawah.
Artinya, barang-barang yang dulu diklasifikasikan mewah, saat ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini, kenaikan tarif PPnBM harus fleksibel mengikuti perkembangan nilai barang di pasar.
Namun, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (Ul) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro optimis, kenaikan PPnBM yang dilakukan pemerintah tidak terlalu mempengaruhi sektor industri dalam negeri.Menurut dia, hanya barang-barang tertentu yang termasuk kategori barang kena pa jak (BKP) PPnBM.
"Pengaruh dari kenaikan PPnBM saya rasa tidak akan terlihat pada industri. Sebab, pada dasarnya PPnBM selama ini memang hanya di peruntukkan bagi barang-barang tertentu yang sudah disebutkan pada peraturan yang ada," ujarnya kepada SINDO.
Bahkan, dia memperkirakan kebijakan mengenai kenaikan PPnBM akan berpengaruh positif dalam industri dalam negeri, terutama di bidang otomotif.