GP Farmasi akan meminta penjelasan kepada Ditjen Pajak guna mendapatkan penjelasan lebih rinci terkait dengan kebijakan Menkeu tentang biaya promosi dan penjualan di industri farmasi. Sekjen Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Johanes Setiono mengatakan sejauh ini pelaku industri farmasi belum memahami substansi dari kebijakan baru itu, sehingga pihaknya merasa perlu meminta penjelasan lebih terperinci dari Departemen Keuangan.
"Pengurus GP Farmasi sepakat untuk menemui pejabat Depkeu [Dirjen Pajak] guna mendapat penjelasan lebih lanjut," ujarnya akhir pekan lalu.
Pada Kamis pekan lalu pengurus GP Farmasi bersama sejumlah pimpinan perusahaan farmasi mengadakan pertemuan yang khusus membahas tentang Kepmenkeu Nomor 104/PMK.03/2009 yang mengatur tentang biaya promosi dan penjualan, termasuk di industri farmasi.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa besarnya biaya promosi tidak boleh melebihi 2% dari total omzet dan maksimal Rp25 miliar. Jika biaya promosi lebih tinggi dari ketentuan ini, kelebihannya akan dikenai pajak sekitar 30%. Ketentuan yang ditandatangani pada 10 Juni itu berlaku surut mulai 1 Januari 2009.
Menurut sumber Bisnis yang mengikuti pertemuan tersebut, pengurus GP Farmasi pekan ini akan menemui Dirjen Pajak Darmin Nasution guna membahas ketentuan biaya promosi obat tersebut.
Berbeda dengan GP Farmasi yang masih belum memahami substansi aturan tadi, IPMG (International Pharmaceuticals Manufacturers Group) justru sedang menyiapkan surat protes kepada pemerintah.
"Kami sudah membahas persoalan ini, dan selanjutnya akan mengajukan surat keberatan atas aturan biaya promosi di industri farmasi ini," ujar Sekretaris Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak, baru-baru ini.
Dia sangat menyesalkan kebijakan pemerintah yang memperlakukan produk farmasi sama dengan produk rokok. "Produk farmasi jelas-jelas membuat orang jadi sehat, sedangkan rokok membuat orang menjadi sakit. Namun, kenapa kok industri farmasi dipaksa ikut membayar ongkos dosa," paparnya.
Dia juga mempertanyakan maksud dan tujuan di balik keluarnya Per-menkeu Nomor 104/2009 tersebut. Jika aturan itu bertujuan meredam praktik kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi, menurut Parulian, kebijakan tersebut berarti telah menyederhanakan persoalan.
"Tidak semua perusahaan farmasi melakukan praktik kolusi seperti itu. Kami [perusahaan farmasi asing) tidak pernah melakukannya. Itulah yang menjadi alasan kami untuk mengajukan protes ke pemerintah," tuturnya.
Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Aba"di berpendapat masalah seputar promosi obat bukan hanya terkait dengan praktik kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi, tetapi juga etika dafam beriklan yang dinilai kurang mendidik.
"Iklan obat lebih bersifat komersial dan hanya mencari keuntungan semata. Tidak ada unsur edukasinya sama sekali," ujarnya.