VIVAnews – Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan pemerintah Indonesia masih akan sulit menjadi motor penggerak pembangunan. Sebab kesadaran pembayar pajak di Indonesia masih rendah, termasuk para calon pemimpin.
"Yakin, pemimpin kita saja malas bayar pajak, tanya saja Pak Prabowo berapa bayar pajak, tanya Pak JK berapa dia bayar pajak, atau SBY, mereka besar kemungkinan tidak imbang jumlah hartanya dengan bayar pajak," kata Faisal di Jakarta, Jumat 22 Mei 2009.
Dari data kekayaan yang dilaporkan ke KPK, Prabowo (cawapres) memiliki kekayaan sekitar Rp 1,5 triliun, SBY sekitar Rp 8 miliar, dan Kalla sekitar Rp 300 miliar. Sedangkan cawapres Wiranto sekitar Rp 80 miliar dan Boediono Rp 22 miliar.
Faisal mengatakan tax ratio di Indonesia sampai saat ini baru 12,1 persen. Angka ini tidak akan bisa mendorong pembangunan di Indonesia yang nilai investasinya mencapai Rp 1.500 triliun per tahun.
Menurutnya, minimnya pembayar pajak membuat peran pemerintah dalam investasi maksimal hanya Rp 160-200 triliun per tahun. "Jumlah ini bisa dinaikkan, kalau pajak kita dinaikkan lima kali lipat," katanya. Namun Faisal ragu, kalau kenaikan ini bisa dilakukan.
Hal inilah, kata Faisal, menjadi penyebab pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari keterlibatan swasta. Pemerintah akan semakin sulit mengembangkan Indonesia kalau pemerintah dituntut menutup pintu asing ke Indonesia.
"Orang banyak bicara ekonomi neo liberal dan kerakyatan, tapi tidak paham intinya. Capres dan cawapres kita itu tidak ada yang bicara ekonomi ini, yang bicara itu sebenarnya petarungan kubu ekonom dibalik mereka," kata dia.
VIVAnews