Follow Us :

JAKARTA. Berbagai program peningkatan setoran pajak yang digelontorkan pemerintah sepertinya belum berdampak pada realisasi penerimaan pajak. Sebab, sampai bulan ketiga di 2016 ini, realisasi penerimaan pajak masih sangat rendah.

Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, sampai dengan Maret 2016, realisasi penerimaan pajak baru mencapai sekitar Rp 199 triliun.Angka tersebut baru 14,6% dari target APBN 2016 yang sebesar Rp 1.360,1 triliun.

 
Bahkan jika dibandingkan dengan penerimaan pajak tahun lalu di periode yang sama, jumlah tersebut masih lebih rendah. Tahun lalu, penerimaan pajak kuartal pertama nilainya Rp 203,4 triliun.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, rendahnya penerimaan pajak pada tiga bulan pertama tahun ini banyak disumbang oleh penurunan pajak pertambahan nilai (PPN).

Bambang mengatakan, rendahnya penerimaan PPN sebagiannya akibat adanya restitusi. Sementara sebagian lainnya diindikasikan oleh konsumsi rumah tangga yang masih belum kuat. "Dibanding (periode yang sama pada) tahun lalu, sekitar Rp 4 triliun lebih rendah," tutur Bambang, Selasa (5/4).

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menambahkan, selain penurunan penerimaan PPN, penurunan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Migas juga penyebab kedua turunnya kinerja penerimaan pajak di awal tahun ini. Sayangnya, ia belum mau merinci besaran penurunan PPN dan PPh.

Ekonomi masih lambat

 
Untuk meningkatkan penerimaan pajak hingga akhir tahun, pemerintah akan memperluas data wajib pajak melalui kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit. Dijten Pajak akan mewajibkan bank penerbit kartu kredit melaporkan data transaksi mulai 31 Mei 2016.

Tahun ini, pemerintah mewajibkan 23 bank untuk menyampaikan data tersebut kepada pemerintah, secara langsung ataupun melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Mekar Satria Utama menjelaskan, data yang akan didapat Ditjen Pajak dari laporan transaksi itu akan menggambarkan konsumsi pemegang kartu kredit. Data konsumsi itu nantinya dibandingkan dengan data pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak.

Meski demikian, Ditjen Pajak masih akan melakukan pertemuan dengan Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) untuk membicarakan lebih teknis mengenai aturan tersebut. "Bisa jadi nantinya akan ditentukan pelaporan kartu kredit hanya untuk limit besar,” katanya.

Wajib pajak nantinya akan diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi penggunaan kartu kredit apabila berdasarkan hasil pendalaman Ditjen Pajak ditemukan adanya kejanggalan antara konsumsi wajib pajak tersebut dengan SPT yang dilaporkan.

Namun Ditjen Pajak mengaku belum bisa menghitung potensi penerimaan pajak yang dapat ditarik dari hasil pelaporan transaksi kartu kredit tersebut. Sebagai gambaran, tahun lalu jumlah kartu kredit yang beredar jumlahnya ada sebanyak 16,8 juta.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, rendahnya penerimaan pajak hingga Maret memberikan sinyal bahwa perekonomian saat ini masih melambat. Rendahnya penerimaan pajak juga menujukan bahwa belum ada upaya istimewa yang dilakukan pemerintah.

Menurutnya, penerimaan pajak pada tahun ini masih akan bergantung pada rencana kebijakan pengampuan pajak (tax amnesty). Tanpa tax amnesty, pemerintah perlu merevisi target penerimaan agar lebih realistis. “Jika tetap dipertahankan seperti sekarang, hasilnya akan sama dengan tahun lalu,” ujarnya.

error: Content is protected