Follow Us :

Fraksi PKS dan Partai Golkar Siap Mengembalikan

 

Jakarta, Kompas – DPRD dan Gubernur DKI Jakarta dinilai tidak layak menerima sebagian upah pemungutan pajak karena tidak turut memungut secara langsung. Peraturan Menteri Dalam Negeri dan peraturan gubernur yang memayungi pembagian upah pemungutan itu harus dicabut.

Guru besar ilmu administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, Kamis (15/1) di Jakarta Pusat, mengatakan, dalam Undang-Undang No 34/2000 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah diizinkan mengambil upah pemungutan pajak. Namun, upah itu hanya boleh diberikan kepada petugas yang memungut pajak secara langsung demi menunjang dan meningkatkan kinerja.

Upah hanya boleh diberikan kepada petugas pemungut pajak, kata Eko, salah satunya untuk biaya transportasi dan komunikasi. Dengan tambahan upah itu, petugas diharapkan bekerja lebih giat dan teliti agar pemasukan daerah meningkat.

Upah pemungutan pajak itu juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 35/2002 tentang alokasi pembagian upah pemungutan pajak. Dalam permendagri itu, yang berhak menerima upah adalah instansi pemda terkait, kepolisian, instansi pendukung, dan pembina pusat.

Permendagri itu diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) No 28/2005 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan, serta Pergub No 118/2005 mengenai Pajak Daerah. Salah satu isinya adalah alokasi upah pemungutan pajak, yang sama dengan permendagri.

Menurut Eko, DPRD seharusnya tidak termasuk dalam instansi pendukung yang berhak menerima pembagian upah pemungutan. Instansi pendukung itu antara lain adalah kelurahan, RT, dan RW yang terlibat dalam mengumpulkan pajak.

Sebelumnya, Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriatna mengatakan, DPRD berhak menerima upah pemungutan pajak sebagai instansi pendukung. DPRD dinilai turut menyosialisasikan kewajiban membayar pajak kepada masyarakat. Apalagi, dengan landasan kedua pergub itu, Pemprov DKI Jakarta memberi upah pemungutan tanpa ada permintaan dari DPRD.

Menyosialisasikan pajak adalah tugas DPRD dan bukan termasuk kegiatan pemungutan pajak. Dengan demikian, upah pemungutan itu tak boleh diberikan kepada 75 anggota DPRD.

Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta, kata Eko, juga tidak layak menerima upah itu. Mereka juga tidak memungut pajak secara langsung sehingga tidak layak menerima upah pemungutan.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri juga dinilai tidak layak menerima upah tersebut. Tugas pembinaan dan evaluasi pajak oleh Mendagri sudah dibiayai oleh APBN sehingga akan terjadi anggaran ganda jika dibiayai lagi melalui APBD.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memanggil anggota DPRD DKI Jakarta untuk meminta keterangan seputar upah pemungutan pajak yang diterima semua anggota DPRD. KPK sudah mengembangkan kasus ini sejak November 2008 setelah memeriksa Dinas Pendapatan Daerah DKI.

Siap kembalikan

Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua mengatakan, jika pendapatan mereka dari upah pemungutan pajak senilai Rp 5 juta per bulan dianggap ilegal, mereka siap mengembalikannya.

”Pendapatan dari upah itu adalah transparan, disetujui Depdagri dan dipotong pajak. Jika ada kejelasan, kami siap mengembalikan. Fraksi Partai Golkar menyiapkan dana Rp 1,68 miliar untuk mengembalikan semua upah yang diterima,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD DKI Jakarta Selamat Nurdin. Nurdin mengatakan, mereka menerima upah itu karena sudah diatur dalam pergub dan tidak ada paksaan dari DPRD ke Pemprov DKI untuk menerbitkan pergub itu.

”Mendagri dan Menteri Keuangan perlu turun tangan untuk mengatur alokasi upah pungut agar tidak ada pihak yang disudutkan,” kata Nurdin. (ECA)

error: Content is protected