Follow Us :

JAKARTA , Direktorat Jenderal Pajak (DJP) makin gencar mengejar kewajiban pembayaran pajak melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. DJP sedang mengerahkan satuannya untuk melakukan penyisiran terhadap kewajiban pembayaran pajak di gedung bertingkat tinggi (high rise building) di Jakarta.

“Apartemen-apartemen, gedung perkantoran itu kami sisir, siapa tenant-nya (penghuni/penyewa), siapa pemiliknya, punya NPWP tidak. Kalau sudah punya NPWP bagaimana pembayarannya,” kata Direktur Jenderal Pajak Muhammad Tjiptardjo, di Jakarta, Jumat (21/8).

Penyisiran kewajiban pembayaran pajak di high rise building, kata Tjiptardjo, merupakan bagian dari langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. “(Dari situ) kami mungkin bisa temukan ada yang belum punya NPWP, mungkin ada yang belum sampaikan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) Pajak,” kata dia.

Ia mengatakan, ke depan, upaya penyisiran itu akan dilakukan di seluruh Indonesia. Namun saat ini, kata dia, pihaknya akan fokus dahulu di Jakarta. Penyisiran juga akan dilakukan di gedung bertingkat milik pemerintah yang disewakan kepada swasta. “Pokoknya gedung bertingkat dimana potensi aktivitas ekonominya tinggi,” kata Tjiptardjo.

Setelah high rise building, kata dia, akan menyusul penyisiran di kompleks perumahan mewah. Namun ia belum mau memaparkan lebih lanjut perihal ini. “Perumahan mewah yang belum kita data lagi, kita data untuk tambah wajib pajak dan pembayaran pajaknya,” kata dia.

Pengamat perpajakan Universtas Indonesia Darussalam mempertanyakan efektivitas langkah DJP itu. “Penyisiran untuk menguji kepatuhan merupakan hal yang wajar, tetapi untuk mendongkrak penerimaan pajak masih dipertanyakan efektivitasnya,” kata dia.

Menurut Darussalam, DJP lebih baik mulai fokus pada kegiatan ekonomi yang tidak tercatat (shadow ekonomi). “DJP sebaiknya juga mulai fokus pada kegiatan penyelundupan dan ilegal yang selama ini belum tersentuh,” kata dia.

Bebas PPN

DPR dan pemerintah menyepakati tambahan jenis barang kebutuhan pokok yang dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebutuhan pokok yang dibebaskan PPN yaitu daging, susu, telor, sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam pembahasan awal RUU PPN dan Pajak penjualan Barang Mewah (PPnBM) hanya memasukkan beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik beryodium maupun tidak beryodium sebagai bahan pokok yang dibebaskan PPN.

Dirjen Pajak Tjiptardjo mengatakan pembebasan dan penambahan jenis barang itu bertujuan membantu masyarakat mudah mengonsumsi empat sehat lima sempurna. Ia menambahkan, secara umum, pembebasan PPN untuk beberapa jenis barang akan mempengaruhi postur penerimaan PPN.

“Kita belum menghitung potential lost-nya, tapi relatif tidak begitu signifikan karena di satu sisi ada potential loss, tapi ada sisi penerimaan yang bisa menutupinya,” kata Tjiptardjo.

Ketua Pansus Pajak DPR Melchias Marcus Mekeng mengatakan penambahan jenis bahan pokok yang dibebaskan PPN hanya untuk produk yang belum diolah. “Kalau sudah menjadi barang olahan, misalnya, buah-buahan dalam kaleng atau daging dalam kaleng, maka tetap dikenakan PPN,” kata Marcus.

Dengan adanya kesepakatan ini, lanjut dia, harga barang kebutuhan pokok diharapkan lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat. “Kami harap sebelum 15 September sudah disahkan menjadi Undang-undang,” tambahnya.

RUU PPN dan PPnBM merupakan amandemen UU PPN dan PPnBM nomor 18 tahun 2000 tentang PPN Barang dan Jasa, dan PPnBM. Tujuan perubahan UU itu untuk memperluas basis objek pajak yang terkena PPN atau PPnBM.

error: Content is protected