Follow Us :

TUNGGAKAN ROYALTI BATUBARA

JAKARTA. Kisruh pemerintah dan perusahaan batubara pemegang kontrak generasi pertama nampaknya masih akan terus berlanjut. Segera setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan hasil pemeriksaan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengaku akan menagih pembayaran pajak penjualan (PPn) kepada para pengusaha penunggak royalti.

Rencana ini berdasarkan kontrak karya antara pemerintah dengan pengusaha tersebut. "Kontraknya bilang, mereka tetap wajib membayar PPn. Kalau tidak, itu berarti kan mereka tidak membayar kewajiban pajak, "tegas Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, Kamis 94/9) malam.

Pembayaran PPn ini menurut Darmin adalah kewajiban lain di luar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di dalam kontrak, pemerintah akan membayar kembali PPN yang telah dibayar oleh lima perusahaan itu dengan mekanisme reimbursement.

Menurut Darmin, kewajiban PPn dari para pengusaha itu berlaku sejak 1983 hingga 2000. Sayang Darmin belum mau menyebut nilai tunggakan tersebut, karena belum kelarnya audit BKPK itu. "Jadi kalau mereka mau meminta reimbursement, ya silakan. Tapi jangan lupa bayar PPn,"kata Darmin.

Permintaan pembayaran PPn ini, kata Darmin, tetapi sesuai aturan. Meskipun pada sisi lain Darmin mengaku ada peraturan yang menyatakan masa waktu kedaluwarsa pajak jika telah lebih dari sepuluh tahun.

Menanggapi perkataan Dirjen Pajak tersebut, Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara indonesia (APBI) Jeffry Mulyono mengatakan, pengusaha siap membayar PPn bila pemerintah telah membayar kewajiban reimbursement."Kami menunggu pemerintah membayar dulu, ini sesuai ucapan Presiden,"kata Jefrrey.

Sekadar mengingatkan, kisruh royalti batubara ini melibatkan lima perusahaan batubara generasi pertama, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal dan PT Adaro Indonesia. Lima perusahaan itu menunggak pembayaran royalti sebesar 13,5% per tahun dari penjualan batubara sejak 2001. Total tunggakan mencapai Rp 7 triliun, dari 2001 hingga 2007.

Gara-gara itulah, pemerintah mencekal beberapa eksekutif puncak perusahaan tersebut keluar negeri. Disisi lain, para pengusaha merasa berhak menahan pembayaran royalti karena mempunyai tagihan kepada pemerintah atas PPN. Mereka menganggap pemerintah enggan membayar PPN tersebut.

Martina Prianti, Yudo Widiyanto

error: Content is protected