Ditjen Pajak mencekal petinggi empat perusahaan karena tidak membayar pajak penghasilan
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kembali melayangkan surat cegah tangkal (Cekal) untuk empat petinggi perusahaan yang mangkir dari kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh). Total tunggakan pajak empat perusahaan ini mencapai Rp 53,799 miliar.
Dua pimpinan perusahaan itu dicekal karena menunggak PPh pribadi. Mereka adalah Direktur Utama PT Multi Prima Energy Julianus Dominggus, dan Presiden Direktur PT Quty Kurnia Yeung Do Kim.
Pencekalan ini juga berlaku kepada pimpinan perusahaan PT Durachem Indonesia dan pimpinan perusahaan PT Barent Indonesia. Pencekalan untuk pejabat dua perusahaan ini karena ada tunggakan pajak penghasilan perusahaan.
Pencekalan ini sebenarnya telah berlangsung sejak 20 Agustus 2008 lalu. "Surat permohonannya turun pada tanggal 20 Agustus, sejak itu cekal langsung dilaksanakan,"kata Direktur Jenderal Imigrasi, Syaiful Rahman, Kamis (4/9). Pencekalan ini berlaku mulai 24 Agustus 2008 hingga 20 Februari 2009.
Saiful menegaskan hingga saat ini tidak ada keberatan maupun protes dari mereka yang terkena cekal. "Jika mau protes silakan mengajukan ke Depkeu,"kata Syaiful.
Yang pasti, ditjen Pajak akan mencabut cekal jika sudah ada surat dari Menteri Keuangan. "Kalau mereka, sanggup melunasi hutangnya, maka pencekalan bisa seketika dicabut lewat izin Menkeu,"terang Syaiful.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengakui adanya pencekalan tersebut. Menurut Darmin sebenarnya yang dicekal tak cuma empat perusahaan saja, tapi mencapai puluhan. Sayangnya, Darmin tak ingat nama-nama perusahaan itu. "Pencekalan ini sudah sah karena sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan,"kata Darmin.
Berdasarkan UU KUP itu, kata Darmin, surat paksa badan langsung berlaku jika telah keluar hasil pemeriksaan pajak terhutang. "Setelah itu kami langsung mencekal,"kata Darmin. Sebelumnya, pemerintah juga mencekal para direksi dan komisaris lima perusahaan tambang batubara generasi pertama karena menunggak kewajiban membayar royalti.
Martina Prianti, Dian Pitaloka