Follow Us :

Jakarta, Kompas – Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau RUU PDRD menggagas pungutan baru berupa pajak rokok. Penerapan pungutan baru tersebut bisa menambah sumber penerimaan daerah sekaligus menyehatkan masyarakat melalui penurunan jumlah perokok, terutama perokok pemula.

Sumber penerimaan daerah

”Dengan adanya pajak rokok, harga rokok bisa menjadi sangat mahal. Mungkin setara dengan harga di Singapura yang tiga kali lebih mahal dari harga rokok Indonesia. Itu akan membuat perokok pemula menahan diri untuk merokok sehingga menyehatkan orang. Akan tetapi, bagi perokok berat, harga tidak menjadi masalah. Ini yang menjadi sumber penerimaan daerah. Elastisitasnya di situ,” ujar Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis di Jakarta, Rabu (17/9).

Menurut Harry, ada dua mekanisme penerapan pajak rokok. Pertama, pajak rokok dikenakan atas cukai. Sebagai ilustrasi, ada rokok seharga Rp 10.000 per bungkus, yang sudah terkena cukai sebesar Rp 4.000 (tarif 40 persen).

25 persen

Atas rokok ini, pajak rokok dikenakan 25 persen terhadap Rp 4.000 (cukainya) sehingga daerah mendapatkan jatah penerimaan dari satu bungkus rokok itu sebesar Rp 1.000. Dengan perhitungan itu, harga rokok di pasaran menjadi Rp 11.000 per bungkus.

”Jika alternatif ini yang dipilih, ada dua pihak yang bisa menghimpun pajak rokok, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau distributor rokok. Lalu nantinya pemerintah daerah harus mengemis kepada pemerintah pusat untuk mendapatkan jatah pajak rokoknya. Saya kira itu tidak kami kehendaki,” kata Harry.

Adapun alternatif kedua, pajak rokok dikenakan atas harga ritel di pasaran. Jika harga rokok Rp 10.000, pajak rokoknya sebesar Rp 2.500 (25 persen dari harga pokok termasuk cukai) sehingga harga rokok menjadi Rp 12.500 per bungkus.

Jika alternatif ini yang dipilih, pemerintah daerah harus mendata semua kios, toko, dan pengecer yang menjual rokok serta menghitung jumlah penjualan setiap bulannya. Kemudian, pemerintah daerah harus membuat tanda khusus pada rokok itu yang menunjukkan pengenaan tarif pajak rokok di daerah tersebut.

”Jadi, rokok yang tidak dikenakan tanda khusus itu dianggap ilegal di daerah tersebut. Dengan opsi ini, pemerintah daerah harus benar-benar aktif,” ujar Harry.

Untuk kesehatan

Dalam pembahasan juga dibicarakan, pemerintah daerah diwajibkan mengalokasikan 10 persen dari penerimaan pajak rokok tersebut untuk kepentingan kesehatan dan pelayanan publik.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengatakan, pajak rokok tersebut masuk dalam perdebatan di dalam Panitia Khusus RUU PDRD. Perdebatan dikaitkan dengan berbagai opsi yang bisa diterapkan dalam pembebanan pajak rokok itu.

”Masih dalam proses dan belum diputuskan. Pemerintah dan DPR masih akan bertemu lagi,” ujar Mardiasmo. (OIN)

error: Content is protected