JAKARTA. Uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test calon gubernur Bank Indonesia (BI) menjadi ajang buat sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (XI) DPR menguak kasus-kasus terkait Darmin Nasution, calon tunggal orang nomor satu di bank sentral, kala menjabat Direktur Jenderal Pajak.
Nusron Wahid, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, misalnya, mempertanyakan alasan Darmin mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan PT Halliburton Logging Service Indonesia, atas nilai kurang bayar pajak perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat tersebut. Padahal, semasa Hadi Poernomo menjabat Direktur Jenderal Pajak, permintaan tersebut sudah empat kali ditolak.
Nusron curiga keputusan Darmin tak lepas dari intervensi Pemerintah Amerika Serikat (AS). Sebab, salah satu komisaris Halliburton ketika itu, adalah Wakil Presiden AS Dicky Cheney. "Pertanyaan ini harus dijawab tuntas, karena kami tidak ingin gubernur BI bisa diintervensi oleh asing,"tugas Nusron.
Darmin menegaskan, dalam memutuskan kasus tersebut, tidak ada intervensi ataupun pengaruh dari pihak manapun. "Tidak ada tekanan dari menteri atau pejabat yang lebih tinggi,"katanya saat menjalani fit and proper test hari kedua, Kamis (22/7).
Kasus ini bermula sewaktu Halliburton melayangkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Badan lebih bayar sebesar Rp 111,67 juta untuk pajak tahun 1998. Setelah diperiksa Direktorat Jenderal Pajak, justru Halliburton kurang bayar pajak sebanyak Rp 86,17 miliar.
Atas temuan tersebut, Maret 2000, Halliburton mengajukan keberatan. Tapi, Kantor Wilayah Pajak Jakarta Selatan menolak dengan alasan Halliburton tak memberikan bukti transaksi terkait dengan kerugian selisih kurs.
Perusahaan ini lalu mengajukan banding ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, Maret 2001. "Mereka mengajukan keberatan pertama tahun 2001 dan berlanjut setiap tahun, namun semuanya ditolak,"ungkap Darmin.
Darmin mengaku disodori masalah ini sepekan setelah menggantikan Hadi, Lantaran kasus ini berisiko tinggi, ia lalu meminta gelar perkara dengan melibatkan Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pemeriksaan, dan Direktur Peraturan Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Dari hasil gelar perkara tersebut, lalu diputuskanlah bahwa Halliburton mendapat pengurangan pajak sebesar Rp 21,7 miliar, sehingga nilai kurang bayarnya menjadi Rp 63 miliar.