JAKARTA. Ada kabar kurang menyenangkan buat para perokok. Pemerintah daerah (pemda) akan berwenang memungut pajak atas rokok yang beredar di wilayahnya. Itu berarti, harga jual rokok bisa naik lebih mahal lagi.
Ini adalah buah kesepakatan antara Pemerintah dan DPR, Senin (25/5) lalu, sewaktu menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD).
Direktur PDRD Departemen Keuangan Budi Sitepu mengatakan, Pemerintah akhirnya menyetujui pungutan pajak rokok daerah tersebut supaya pemda bisa mengerek pendapatan asli daerah alias PAD. Tapi, "Kami masih membahas soal tarif," katanya kepada KONTAN, Selasa (26/5).
Nantinya, yang berwewenang menetapkan besaran pajak rokok adalah pemerintah provinsi dengan persetujuan pemerintah kabupaten dan kota. Jadi, harga jual rokok antara satu provinsi dengan provinsi lainnya bisa saja berbeda-beda.
Tapi, pengenaan pajak rokok itu disertai catatan. "Minimal, 50% dari pendapatan pajak rokok itu harus dialokasikan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan, terutama yang terkait dampak rokok," ujar Budi.
Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis menjelaskan, DPR mengajukan usul besaran tarif pajak rokok, yakni minimal 10% dan maksimal 15% dari harga jual yang tertera pada pita cukai.
Anggota Panitia Khusus RUU PDRD Nursanita Nasution yakin, pengenaan pajak rokok tidak serta merta akan menurunkan jumlah perokok. "Jika tarifnya tinggi, mungkin baru bisa," katanya.
Pengusaha rokok jelas meradang dengan pemberlakukan pajak rokok ini. "Kalau harga rokok semakin mahal tentu ini akan memberatkan masyarakat. Kalau sudah begini, daya beli turun dan pendapatan kami bisa turun," kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti.
Selama ini, produsen rokok tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan pajak rokok ini. "Secara teknis, kami juga mempertanyakan bagaimana nanti pelaksanaannya karena peredaran rokok kan lintas wilayah," ujar Muhaimin.
Martina Prianti, Anna Suci Perwitasari