Follow Us :

JAKARTA , Daerah berpotensi menerapkan tarif pajak maksimal untuk meningkatkan penerimaan, karena UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menaikkan batas atas tarif pajak yang dapat diberlakukan.

Hal tersebut justru berpotensi menghambat dunia usaha.
"Dari pengalaman delapan atau sembilan tahun lalu, ketika otonomi daerah baru diterapkan, daerah memang cenderung ingin meningkatkan penerimaan," kata pengamat keuangan daerah dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudhi di Jakarta, Rabu (26/8).

Salah satu pengalaman yang unik, lanjut Agung, adalah dalam pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). "Parameter alokasi DAU adalah jumlah penduduk. Ada daerah yang kemudian mencoba menambah jumlah penduduk agar mendapatkan DAU yang lebih besar," kata dia.

Hal tersebut, tambah Agung, menunjukkan bahwa daerah masih sangat berorientasi kepada penerimaan. "Oleh karena itu, UU PDRD bisa jadi akan membuat daerah menaikkan tarif pajak, untuk menambah penerimaan," kata dia.

Dalam UU PDRD, memang terdapat kenaikan batas maksimal beberapa jenis pajak. Salah satunya adalah pajak kendaraan bermotor, yang mengalami kenaikan batas atas dari 1,5 persen menjadi dua persen. "Kita semua berharap agar daerah tidak lagi hanya berorientasi kepada penerimaan.

Karena UU PDRD juga bisa menjadi instrumen fiskal untuk memberikan insentif kepada dunia usaha," kata Agung.

Daerah, tambah Agung, harus berpikir jangka panjang. "Bukan hanya memikirkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi harus juga mempertimbangkan laju PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Jika PDRB tumbuh, maka PAD pasti mengikuti," kata dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga mengkhawatirkan pengenaan tarif pajak maksimal.

"Daerah tidak memiliki pemahaman yang memadai dalam hal memberi kemudahan kepada dunia usaha, sehingga dikhawatirkan mereka akan maximize tarif pajak," kata dia.

Daerah, menurut Sofjan, memang berpeluang untuk menetapkan tarif maksimal. "Karena ada pungutan yang tidak boleh diberlakukan lagi, maka kompensasinya adalah menaikkan tarif pajak yang boleh dikenakan," ujar dia.

Jika pengenaan tarif maksimal dikenakan, lanjut Sofjan, maka akan ada hambatan terhadap investasi. "Ditambah lagi dengan situasi krisis. Investasi bisa jadi akan semakin menjauh," tegas dia.

Pelambatan investasi, tambah Sofjan, masih akan terjadi dalam 2-3 tahun mendatang. "Jika daerah menerapkan tarif maksimal, maka akan menambah hambatan dalam berinvestasi.

error: Content is protected