JAKARTA: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan akhirnya diminta pemerintah untuk melakukan penghitungan besarnya royalti yang telah ditahan perusahaan batu bara pemegang PKP2B.
Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengatakan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) diminta melakukan perhitungan royalti atau dikenal juga dengan nama DHPB (dana hasil produksi batu bara) sebagai bagian dari penegakan transparansi.
"Yang jelas, hingga 2005 BPKP telah menghitungnya. Nilainya mencapai Rp3,8 triliun, sedangkan periode hingga 2008 belum selesai. Namun, dana itu diperkirakan mencapai Rp7 triliun," ujarnya Minggu.
Menurut Purnomo, hasil negosiasi pemerintah dan pengusaha batu bara yang menahan royalti sudah sepakat agar kedua belah pihak menghormati kontrak. Pemerintah berkukuh enam perusahaan batu bara itu tetap harus membayar royalti karena menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan itu. "Mekanisme itu sudah disetujui Presiden."
Menteri ESDM menambahkan perusahaan pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) manahan kewajiban pembayaran royalti karena menggunakan asumsi menganut rezim perpajakan nail down (pungutan yang berlaku setelah kontrak yang ditandatangani tidak dapat diterapkan).
Oleh karena itu, lanjutnya, mekanisme penyelesaian kisruh pembayaran royalti dan restitusi pajak batu bara diselesaikan dengan cara sebelum PP No. 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diundangkan.
"Jadi sekarang dikembalikan mekanismenya seperti sebelum PP No. 144/2000 itu keluar. Itu karena kami menggunakan kontrak batu bara generasi I."
Perusahaan batu bara pemegang kontrak PKP2B generasi I menggunakan rezim perpajakan tetap.
Rezim lex specialis yang dianut pengusaha batu bara generasi I ini membuat pengusaha tidak terkena aturan pajak yang diundangkan setelah kontrak ditandatangani.
Membayar kembali
Kontrak PKP2B disebutkan bahwa jika muncul pajak baru yang tidak tercantum dalam kontrak maka pemerintah akan membayar kembali sejumlah nilai yang sama melalui mekaniseme reimbursement.
Akan tetapi setelah keluarnya PP No. 144/2000, pengusaha batu bara generasi I tidak dapat mengenakan PPN keluaran pada penjualan batu baranya, sementara perusahaan tetap menanggung PPN biaya atas barang, jasa, dan peralatan dalam produksi batu bara.
Belum lama ini, pemerintah disebut-sebut segera mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang akan mengatur mekanisme reimbursement, menyusul disepakatinya penyelesaian kisruh royalti batu bara dengan mengembalikan kepada isi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara generasi 1.
"Tadi keenam perusahaan yang tersangkut kisruh royalti batu bara bertemu dengan Dirjen Pajak, dan salah satu kesepakatannya pemerintah segera mengeluarkan Permenkeu untuk mengatur mekanisme reimbursement," kata pengusaha batu bara yang enggan disebut namanya.
Keenam perusahaan itu adalah PT Kideco Jaya Agung, PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, dan PT Adaro Indonesia serta PT Kendilo Coal Indonesia
Diena Lestari