JAKARTA: Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) disebut-sebut telah memberikan tiga rekomendasi untuk menyelesaikan kasus enam perusahaan batu bara penunggak royalti, PPn, dan PPN yang mencapai Rp7 triliun.
Di sisi lain, enam perusahaan itu telah menyerahkan daftar taksiran (assesment) tunggakan royalti dan jumlah PPN (pajak pertambahan nilai) yang akan di- reimburse.
Namun, audit BPKP itu masih tersendat, karena taksiran PPN perusahaan batu bara belum dilakukan.
Dirjen Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Setiawan, mengatakan ada tiga rekomendasi yang diberikan BPKP dalam menyelesaikan kasus tunggakan royalti tersebut.
Alternatif pertama, perusahaan batu bara mendapat restitusi. Alternatif kedua dan ketiga, penyelesaian menggunakan mekanisme reimbursement.
"Ketiga alternatif itu semua mengacu kepada kontrak yang menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing. Mereka [enam perusahaan batu bara] juga terkena denda 2% per bulan akibat tunggakan itu," ujarnya akhir pekan lalu.
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan pembayaran royalti dan restitusi pajak batu bara akan diselesaikan dengan cara sebelum PP No. 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN diundangkan.
"Jadi, mekanisme kini seperti sebelum PP No. 144/2000 itu keluar. Itu karena kami menggunakan kontrak batu bara generasi pertama."
Berkaitan dengan kelanjutan penyelesaian kasus royalti, Bambang menjelaskan keenam perusahaan batu bara penunggak royalti itu sudah menyampaikan taksiran jumlah PPN yang mereka minta untuk di-reimbursement berikut nilai royalti atau DHPB (dana hasil penjualan batu bara) yang ditahan.
Namun, menurut Dirjen Minerbapabum, dia tidak ingat besarnya nilai dari dua komponen itu. "Besarnya sama dengan yang pernah dirilis Departemen ESDM. Untuk persisnya, kita tunggu hasil audit BPKP."
Dia juga meminta perusahaan batu bara itu untuk menyelesaikan taksiran soal pembayaran PPn sehingga semua masalah itu tuntas.
Keenam perusahaan batu bara penunggak royalti itu adalah PT Kideco Jaya Agung, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT Kendilo Coal Indonesia.
Berkaitan dengan telah diserahkannya soal taksiran itu, Bisnis berusaha mengonfirmasi kepada Direktur Keuangan PT Bumi Resources Tbk Andrew Beckham. Namun, Andrew tidak menjawab panggilan dan pesan singkat yang dikirimkan ke telepon selularnya.
Berbeda dengan Direktur Keuangan Bumi Resources, Corporate Secretary PT Adaro Energy Tbk Andre J. Mamuaya dapat dihubungi, tetapi dia menolak untuk berkomentar. "[Kalau tentang royalti] saya belum bisa berkomentar dulu," tandasnya.
Pada kesempatan lain, sumber Bisnis mengatakan Adaro telah memasukkan self assessment mengenai royalti dan PPN yang harus di-reimburse pada Rabu pekan lalu. Total nilai royalti dan PPN itu mencapai US$169 juta (setara dengan Rp1,54 triliun).
Mekanisme reimburse
Sumber tadi menilai perselisihan mengenai royalti dapat diselesaikan dengan cepat jika pemerintah bersedia membuat mekanisme reimbursement. "Begitu mekanismenya tersedia, satu demi satu permasalahan akan ada jalan keluarnya."
Masih berkaitan dengan masalah yang sama, PT Bursa Efek Indonesia tengah mempertimbangkan untuk meminta penjelasan lebih lanjut kepada manajemen Bumi dan Adaro soal kasus sengketa royalti batu bara.
Menurut Kadiv Pencatatan Sektor Riil BEI I Gede Nyoman Bagus Yetna Setia Abadi, manajemen Bumi dan Adaro telah menyampaikan keterbukaan informasi melalui bursa.
Namun, informasi yang diberikan itu, terutama dari Bumi, dinilai kurang menjelaskan. "Kami sedang mempertimbangkan untuk meminta penjelasan lebih lanjut dalam bentuk surat ataupun hearing dengan bursa."
Pemerintah, menurut Bambang, juga akan membuka kembali loket pembayaran PPn, yang sebelumnya telah ditiadakan. "Kini kita tinggal tunggu hasil audit BPKP. Yang jelas, mereka [perusahaan batu bara] sudah berkomitmen untuk membayar royalti yang ditahan," ujarnya.
Firman Hidranto