Jakarta, Kompas – Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas menyiapkan tiga opsi untuk menaikkan penerimaan negara dari sektor migas, yakni windfall profit tax, pengendalian biaya produksi migas yang ditagihkan ke negara (cost recovery), dan menaikkan pajak ekspor minyak mentah yang menjadi bagian produsen.
Kepala BP Migas R Priyono, Selasa (29/7) di Jakarta, mengemukakan, pihaknya terus mengkaji opsi yang paling mungkin diterapkan dengan iklim investasi migas Indonesia saat ini. ”Apakah iklim investasi kita masih cukup menarik, buktinya kemarin penawaran wilayah kerja kurang peminat,” kata Priyono.
Dari 21 wilayah kerja migas yang ditawarkan pemerintah melalui lelang pada bulan Mei, hanya sembilan blok yang laku. Sebagian besar blok yang tidak laku berada di wilayah Indonesia bagian timur. Direktorat Jenderal Migas berencana melelang ulang beberapa blok yang tidak laku bersama dengan beberapa blok baru pada bulan Oktober.
Menurut Priyono, opsi mengubah persentase pajak pada porsi bagi hasil tidak efektif. ”Tadinya ada pemikiran memperbesar pajak produsen, tetapi itu berarti memperkecil hasil penerimaan bukan pajaknya karena, dalam penerimaan, pajak itu menjadi pengurang dalam bagi hasil,” papar Priyono.
Oleh karena itu, kata Priyono, BP Migas juga mengkaji opsi mengendalikan cost recovery. Opsi itu bisa diterapkan jika produksi tidak naik signifikan. Tahun 2009, pemerintah menargetkan produksi minyak 1 juta barrel/hari.
”BP Migas tak akan mengemplang pembayaran cost recovery, tetapi kami kendalikan,” ujarnya.
Keinginan Indonesia memperbesar penerimaan yang bisa diperoleh dengan kenaikan harga minyak dinilai Presiden Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Chakib Khelil hal yang wajar. ”Banyak kontrak diteken jauh sebelum harga minyak seperti sekarang,” ujarnya.
Dia mengatakan, akan lebih baik jika kontrak antara perusahaan migas dan negara produsen memungkinkan ada penyesuaian bagi hasil secara otomatis. Chakib mengingatkan, agar opsi yang diambil memperhitungkan risiko yang sudah dikeluarkan perusahaan.
”Untuk Indonesia yang sedang berupaya menaikkan produksi, kebijakan yang diambil jangan sampai menghambat iklim investasi dalam jangka panjang,” tuturnya. (DOT)