JAKARTA. Meski ekonomi lagi susah, Pemerintah mendorong perusahaan berpromosi. Caranya, Pemerintah memberi insentif dengan mengizinkan biaya promosi dan penjualan menjadi faktor pengurang penghasilan kotor dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Ketentuan ini ada dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.03/ 2009 yang keluar 10 Juni 2009 dan berlaku surut sejak 1 Januari 2009.
Tapi ada syarat agar dana promosi dan penjualan bisa menjadi pengurang penghasilan kotor. Pertama, biaya promosi atau penjualan itu bertujuan mempertahankan dan atau menggenjot penjualan. Kedua, ongkos promosi atau penjualan dikeluarkan secara wajar. Ketiga, biaya promosi menurut adat kebiasaan pedagang yang baik. Keempat, biaya promosi atau penjualan dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas. Kelima, diterima oleh pihak lain.
Khusus untuk industri rokok dan farmasi, ada syarat tambahan. Sebab, "Biaya promosi dua sektor ini paling besar, meski tidak semua,” kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, Selasa (30/6).
Syarat tambahan bagi industri rokok dan farmasi agar bisa mengurangkan biaya promosi pada penghasilan kotor, pertama, bagi perusahaan rokok yang beromzet sampai Rp 500 miliar, besarnya biaya promosinya tidak melebihi 3% dari nilai peredaran usaha dan maksimal Rp 10 miliar.
Kedua, biaya promosi industri rokok beromzet di atas Rp 500 miliar – Rp 5 triliun tidak lebih dari 2% dan maksimal Rp 30 miliar. Ketiga, biaya promosi industri rokok beromzet di atas Rp 5 triliun, tidak boleh lebih dari 1% dan maksimal Rp 100 miliar.
Syarat bagi industri farmasi, biaya promosi maksimal 2% dari omzet atau paling banyak sebesar Rp 25 miliar.