MEMPERTAHANKAN pengoperasian otobus dan truk angkutan barang, semakin berat. Banyak tantangan, mulai dari onderdil yang semakin mahal, harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak menentu, serta berbagai pungutan resmi maupun liar di jalanan. Kondisi ini tentu membuat beban para pengusaha angkutan darat semakin berat. Belum lagi persaingan dengan moda lain, seperti kereta api, angkutan udara, dan kendaraan pribadi. Krisjanto Anggarjito, generasi ketiga pemegang PO Kota Bengawan, mengungkapkan, persaingan perusahaannya dan PO-PO lainnya setelah reformasi hingga sekarang semakin ketat. PO Rajawali yang Krisjanto kelola harus bekerja ekatrakeras. Waktu selisih antarbus hanya dua menit, membuat sesama bus saling kejar agar bisa mendapat penumpang. Akibatnya, biaya operasional dan biaya perawatan menggila. Dia mencontohkan, kampas rem hanya tahan dua minggu, sedangkan setoran tak mencapai target. Kemudian, orang mulai beralih ke bus AC dan PO Rajawali kembali menguasai pasar. Namun masa suram bisnis angkutan umum massal dimulai saat krisis moneter. Sejak krisis moneter hingga 17 tahun, kenaikan tarif bus tak sampai 300%, sementara harga onderdil sudah naik 500%. Gempuran makin membabi buta saat kebijakan kredit sepeda motor semakin diperlunak. Masyarakat mulai membeli naik motor karena kreditnya murah, sehingga angkutan umum ditinggalkan. Sementara moda lain seperti pesawat dan kereta mendapat subsidi, angkutan umum seperti dibiarkan. Karena itu, dia mendesak pemerintah mengutamakan peran angkutan massal daripada membiarkan kendaraan pribadi membanjir. Jika kondisi seperti ini diteruskan, PO-PO bakal bangkrut. Hal sama dirasakan Pengelola PO Muncul Paryoto. Dia mengungkapkan, untuk menutup kerugian dari onderdil, BBM yang tak menentu, serta berbagai pungutan, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak kendaraan, kemudahaan pengurusan trayek, dan jalan yang bagus. Hal itu sangat membantu pengusaha angkutan seperti dirinya. Tak Mungkin ”Kalau mengharapkan harga onderdil, ban, suku cadang, dan spare part turun itu tak bakalan terjadi, meskipun harga BBM diturunkan. Sebab, harga dasar onderdil dari pabrik sudah sangat tinggi. Jadi pengelola angkutan umum seperti kami ini pasrah dengan harga onderdil di pasaran,” katanya. Karena itu, Pemerintah Pusat dan daerah bisa membantu dengan mengurangi beban operasional, yakni memberlakukan keringanan pajak kendaraan. Jika kebijakan itu dilaksanakan secepatnya, maka beban pengusaha angkutan umum pemilik otobus tak seberat seperti sekarang ini. Sementara itu, Direktur PT Sinar Mas Jimmy mengatakan, harga suku cadang kendaraan semakin mahal. Harga suku cadang kendaraan bermotor naik setiap tahun. Parahnya, pengawasan dari pemerintah terhadap perkembangan harga suku cadang tidak optimal. Pemerintah tidak pernah mengevaluasi perkembangan harga untuk menentukan kebijakan yang dapat mendukung para pelaku usaha. Belum lagi naik turun harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan penentuan tarif angkutan menjadi kacau. Ketika tarif diturunkan namun biaya variabel lain tetap tinggi, pendapatan usaha transportasi akan turun. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Organisasi Angkutan Darat (Organda) Banyumas Sugiyanto menambahkan, untuk menyiasati persoalan tersebut, perlu terobosan baru, yakni menghemat pemakaian BBM dan tidak membeli suku cadang baru, tetapi memperbaiki onderdil yang masih layak pakai.