Follow Us :

JAKARTA – Bank Indonesia menyatakan siap mengikuti aturan baru dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang membuat pemerintah bisa memungut pajak terhadap surplus mereka. Besarannya sesuai dengan pajak penghasilan badan, yakni 28 persen pada 2009 dan 25 persen pada 2010.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya mengatakan manajemen Bank Indonesia saat ini sedang dalam pembicaraan dengan pemerintah guna membahas teknis pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. "Tidak ada kesulitan melaksanakan aturan itu," kata dia kemarin.

Pengamat perbankan dari Institute for Development of Economics and Finance Aviliani punya pendapat lain. Menurut dia, bank sentral adalah lembaga independen nirlaba yang bertugas menjaga stabilitas moneter. "Kalau the Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) wajar dipungut pajak karena institusi itu dibentuk oleh perbankan," kata dia.

Komisaris Bank Rakyat Indonesia itu menuturkan tugas pokok bank sentral sebagai regulator bisa terpinggirkan jika surplus yang dihasilkan dikenai pajak. Pemungutan pajak bisa mengubah pemikiran bank sentral dari nirlaba menjadi pencari laba. "Harus hati-hati menetapkan regulasinya. Kalau dianggap sebagai lembaga profit, yang dirugikan adalah perbankan," ujar dia.

Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Perpajakan telah menyepakati pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia. Kepastian tersebut tertuang dalam amendemen Undang-Undang Pajak Penghasilan yang drafnya disetujui Panitia Khusus RUU Perpajakan, Kamis pekan lalu. Draf akhir ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR bulan depan.

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengungkapkan, potensi penerimaan dari surplus bank sentral sebenarnya tidak bisa diperkirakan karena tak stabil. Terkadang surplus, di lain waktu defisit. "Tapi surplus Bank Indonesia akan sangat potensial jika penghasilannya sedang bagus," ujar dia.

Tempo mencatat, pada 2006 bank sentral surplus Rp 31 triliun. Tapi, pada 2007, defisit Rp 1,42 triliun dan tahun ini diperkirakan bakal defisit Rp 8,01 triliun. Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan defisit terjadi karena surplus anggaran operasional lebih kecil dibanding defisit anggaran kebijakan penyerapan ekses likuiditas.

Darmin mengungkapkan Bank Indonesia akan mulai membayar pajak atas surplus pada Januari 2009 melalui pembayaran PPh Masa atau PPh Pasal 25 (angsuran pajak). Pada Maret 2010, Bank Indonesia mulai membayar PPh Pasal 29 (kekurangan pembayaran pajak).

Pajak surplus ini sebenarnya tidak berpengaruh secara umum pada keuangan pemerintah. Karena, sesuai dengan Undang-Undang Bank Indonesia, surplus harus disetorkan kepada negara. Namun, akibat adanya surat utang pemerintah eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada bank sentral, surplus itu tidak langsung diambil, tapi diperhitungkan sebagai cicilan pembayaran surat utang.

Besarnya surat utang tersebut mencapai sekitar Rp 129,5 triliun, yang jatuh tempo pada 2034. Dengan dikenakannya pajak surplus Bank Indonesia, pemerintah bisa menikmati langsung sebagian surplus itu melalui pajak.

Sorta Tobing, Eko Nopiansyah

error: Content is protected