Pajak menolak karena menilai ada pelanggaran pidana
JAKARTA. PT Asian Agri Grup menyiapkan sejumlah langkah baru agar bebas dari jerat pidana pajak. Langkah terbaru perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto ini adalah meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Asian Agri meminta SKPKB lantaran merasa tak pernah menyelewengkan pajak senilai Rp 1,3 triliun seperti tuduhan Ditjen Pajak selama ini. Perusahaan kelapa sawit ini mengaku selalu taat membayar pajak sesuai dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Direksi Asian Agri Semion Tarigan mengklaim, sejak tahun 2000 perusahaannya selalu membayar pajak sesuai SPT. Nilainya mencapai Rp 1 triliun per tahun. "Kalau masih kurang. Ditjen Pajak harus menjelaskannya dan kami siap membayar kekurangan itu,"kata Semion, Senin (21/7).
Karena itu, Asian Agri mengaku bingung dengan tuduhan Ditjen Pajak soal penggelapan pajak itu. Pasalnya, apabila kekurangan pembayaran pajak disebut penyelewengan, Asian Agri mengaku siap membayarkannya asal Ditjen Pajak menyebutkan jumlahnya.
Namun, Asian Agri sendiri meragukan tuduhan Ditjen Pajak itu. "Kami khawatir ini hanya alasan yang dicari-cari saja,"timpal pengacara Asian Agri Edino Girsang.
Sebab, Asian Agri mengaku sudah pernah mempertanyakan tuduhan itu kepada lembaga pemungut pajak negara itu. Namun Ditjen Pajak tak pernah memberikan penjelasan soal penyelewengan itu.
Selain meminta SKPKB, Asian Agri juga menuntut Ditjen Pajak segera mengembalikan 1.133 kardus dokumen yang merupakan hasil penggeledahan dan penyitaan dari PT Inti Indosawit Subur, sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 1 Juli 2008 lalu. Inti Indosawit adalah salah satu anak usaha Asian Agri.
Ini masalah pidana
Asian Agri boleh-boleh saja meminta Ditjen Pajak menerbitkan SKPKB. Tetapi, Ditjen Pajak tak bakal memenuhi permintaan tersebut. Ini Lantaran Ditjen Pajak menganggap sengketa pajak ini bukan semata-mata soal kekurangan pembayaran pajak saja. "Masalah ini ada unsur pidananya,"tandas Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, Senin (21/7).
Ditjen Pajak beranggapan, Asian Agri menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar Rp 1,3 triliun dengan berbagai cara tak lazim. Pertama, membuat biaya fiktif pada belasan anak perusahaannya. Melalui cara ini, keuntungan Asian Agri menjadi berkurang, dan dengan sendirinya pembayaran pajaknya pun turut mengecil.
Kedua, lewat transaksi berjangka crude palm oil (CPO) dengan pihak terafiliasi yang ada di luar negeri. Lewat cara ini, seolah-olah ada kontrak pembelian CPO. Cuma, harga kontraknya lebih rendah dibandingkan harga yang berlaku di pasar. Kontrak pembelian itu membuat seolah-olah Asian Agri merugi. Padahal ini, kontrak pembelian seperti ini merupakan modus lain dari mengirim keuntungan ke luarnegeri. Ketiga, Ditjen pajak juga membongkar adanya faktur pajak fiktif yang merugikan negara sebesar Rp 20 miliar.
Selain tak akan menerbitkan SKPKB itu, Darmin juga tak bakal menyerahkan dokumen yang disita dari hasil penggeledahan itu. Darmin beralasan, putusan pra peradilan PN Jakarta Pusat ini bukanlah suatu harga mati.
Ditjen Pajak mengaku sedang menyiapkan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung. "Setelah beres, kami akan langsung mengajukannya. Mungkin dalam waktu dekat,"kata Darmin.
Sekadar mengingatkan, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pra peradilan Asian Agri atas penyidikan pidana pajak yang dilakukan Ditjen Pajak. Putusan ini menyatakan penggeledahan dan penyitaan oleh Ditjen Pajak itu ilegal karena tidak mengantongi izin dan tidak segera memberitahukan penggeledahan itu ke pengadilan.
Adi Wikanto, Martina Prianti