Jakarta – Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) meminta kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Sale & Leaseback (S & LB) atau transaksi pembiayaan yang menggunakan skema sewa guna usaha dengan hak opsi.
Pasalnya, pemberlakuan Surat Dirjen Pajak No.S-813/PJ.53/2005, yang menegaskan bahwa setiap transaksi S & LB harus terutang PPN, membuat perusahaan pembiayaan yang mayoritas berstatus non-PKP (Perusahaan Kena Pajak) harus menanggung beban PPN serta sanksi bunga (2 persen per bulan untuk jangka waktu maksimum 24 bulan) dan sanksi karena tidak menerbitkan faktur pajak (2 persen dari DPP).
Berdasarkan data APPI, sepanjang tahun 2008 saja jumlah transaksi S&LB di dalam negeri mencapai Rp 3 triliun atau kurang dari 3 persen per tahun dari total aktivitas multifinance selama 2008. Dari jumlah transaksi S & LB tersebut, potensi PPN yang dapat dipungut mencapai Rp 300 miliar per tahun.
“Namun, apabila diasumsikan PPN tersebut dapat dikreditkan oleh lessee maupun lessor, jumlah PPN yang dapat disetor ke negara menjadi nihil,” kata Ketua Teknis Perpajakan APPI Helmy Yusman Santoso pada acara Workshop Peluang Pembiayaan Industri Pelayanan Nasional di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (15/4).
Menurut Helmy, potensi penerimaan PPN dari transaksi S & LB adalah tidak signifikan jika dibandingkan dengan manfaat transaksi leasing sebagai sarana masuknya modal asing yang berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia.
Dia menambahkan, adanya peningkatan biaya yang timbul dari pengenaan PPN itu menyebabkan lessee maupun calon investor perusahaan leasing di Indonesia berpotensi memindahkan transaksinya ke negera lain yang lebih kompetitif dalam hal perpajakan. Contohnya saja Jepang yang justru lebih fleksibel dalam perlakuan PPN.
“Peraturan Pajak atas S & LB di Jepang, tidak ada penjualan yang diakui dalam transaksi S & LB dan secara substansial S & LB adalah transaksi pembiayaan sehingga tidak terutang PPN,” ungkap Helmy.